Sabtu, 06 Juli 2013

Masyarakat Tradisional Banten

A. PENDAHULUAN 

Wilayah Banten yang meliputi empat daerah, Kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak dan Tangerang itu telah menjalani dan mengalami proses sejarah yang panjang. Jalan lintas Sumatera - Jawa melalui wilayah ini mulai berlangsung intensif di akhir abad ke-19; dengan jumlah penduduk yang relatif kecil masa lampau dan kini (2.616.787 orang, tahun 1989) dibandingkan dengan wilayahnya yang luas itu, budaya penduduknya mampu menyimpan identitas tersendiri serta jiwa heroisme yang tinggi.

Kelompok masyarakat Baduy di Kanekes adalah pemukim daerah itu yang telah berada di sana jauh sebelum masa kejayaan Kerajaan Pajajaran. Migrasi dua kelompok masyarakat Melayu Awal dan Melayu Akhir di masa silam bukan saling desak melalui peperangan, tetapi berlangsung secara damai dengan saling memberi lahan hidup. Daerah penghunian dan lahan kegiatan hidupnya yang luas itu, kemudian memberi peluang mengembangkan kebudayaannya serta kualitas kehidupan yang makin tak sama dengan kelompok lainnya.

Kiranya perlu untuk memahami makna sebenarnya dari konsep tradisi, tradisional, pelestarian dan nilai-nilai budaya agar tepat pemakaiannya. Tradisi ialah adat atau kebiasaan sosial yang diturunkan dari suatu generasi kepada generasi lainnya melalui proses sosialisasi, yaitu pembentukan tingkah laku melalui pengalaman di dalam keadaan sosial tertentu. Manakala setiap individu itu lahir dan berada ke dalam satu sistem sosial yang akan memberi tekanan kepadanya akan norma dan nilai yang harus diterima oleh individu tesebut sebagai warga masyarakatnya. Tradisi itu menentukan nilai dan moral suatu masyarakat, termasuk aturan tentang salah-benar, atau baik-buruk sesuatu yang dilihat.

Konsep tradisi juga meliputi worldview, atau pandangan dunia yang mengaitkan kepercayaan tentang masalah hidup-mati dan peristiwa-peristiwa alam serta makhluknya. Dengan demikian konsep tradisi terkait erat dengan sistem kepercayaan, nilai-nilai dan cara berfikir suatu masyarakat. Masyarakat tradisional Banten diartikan suatu masyarakat yang memiliki tradisi-tradisi tertentu sebagai karakteristiknya. Pelestarian seharusnya mengandung hakekat untuk mengekalkan berbagai ciri itu yang telah diperoleh budaya tersebut melalui proses kehidupannya dan pengaruh yang diterima. Pelestarian itu tidak menolak pengaruh- pengaruh luar, manakala pengaruh itu mampu diserap dan diolah menjadi bagian pelengkap budayanya. Sedangkan setiap kebudayaan, termasuk budaya wilayah Banten, akan memiliki mekanisme semacam itu dalam sistem budaya mereka; seperti dapat dikemukakan (Garna,1982) bahwa;


B. ORANG BADUY DI KANEKES

1. Orang Baduy di Kanekes
Orang Baduy yang bermukim di desa Kanekes,_ wilayah kecamatan Leuwi Damar, kabupaten Lebak, Banten; dianggap memiliki ciri-ciri sosial budaya seperti masyarakat Sunda Lama, yang kini sistem sosial seperti itu telah pudar pada kelompok masyarakat lain di Jawa Barat (van Hoevell, 1844; Blume, 1845; Korders, 1869a, 1869b; von Ende, 1889; Jacob and Meijer, 1891; van richt, 1929, 1930; Geise, 1952; Berthe, 1965, 1970; Garna, 1975a, 1975b, 1980, 1984, 1985, 1987a, 1987b, 1987c, 1988, 1990, dan 1991). Untuk memahami dan meneliti aspek lainnya tentang orang Baduy akan memerlukan rekonstruksi, gambaran tentang mereka, termasuk struktur dan organisasi sosial, melalui kesan-kesan yang diperoleh dari serangkaian hasil penelitian dan analisis eksistensi orang Baduy.

Dari berbagai situs purbakala di wilayah Banten bagian selatan, Lebak si Bedug, Kosala, Gunung Dangka, dan Sasaka Domas di Kanekes, dapat menunjukkan bahwa budaya megalitik ialah lingkungan budaya orang Baduy masa lalu yang berlanjut hingga masa kini. Demikian pula halnya dengan penghormatan kepada nenek moyang (kabuyutan), salah satu ciri penting dalam sistem kepercayaan Nusantara, yang bagi orang Baduy hingga kini hampir tak tergoyahkan oleh pengaruh luar masyarakatnya.

Di wilayah Banten pengaruh luar diawali oleh kebudayaan Hindu melalui agama yang dianut oleh para penguasa kerajaan Tarumanagara dan Pajajaran serta kerajaan kecil lainnya di wilayah Banten atau Jawa Barat bagian tengah. Pada abad ke-16 kekuasaan Pajajaran itu terdesak dan sirna oleh penyebaran Islam yang dilakukan oleh kesultanan Cirebon dengan bantuan kerajaan Demak, kemudian berdirilah kesultanan Banten yang Islam. Orang Baduy tampaknya hanya tersentuh sedikit saja oleh kuasa kerajaan lama dan baru yang menguasai wilayah luas Banten itu. Pengaruh Barat yang pada masa kerajaan Pajajaran datang melalui pelabuhan Sunda Kelapa, dan pada masa kesultanan Banten melalui perdagangan pesat di pelabuhan Banten Lama tampaknya tidak juga banyak mempengaruhi kehidupan orang Baduy. Kecenderungan bahwasanya makin tinggi arus pengaruh budaya luar makin mantap sistem sosial orang Baduy merupakan hal yang menarik guna memahami kelompok masyarakat ini. Pusat kekuasaan kerajaan Sunda-Hindu maupun Islam itu adalah terletak di pedalaman, walupun demikian mereka mampu berhubungan cepat dengan dunia luar karena memiliki pelabuhan di pantai laut Sunda Kelapa dan Banten Lama yang dihubungkan pada pusat kerajaan melalui sungai.
 
2. Nama dan Bahasa
Sebutan Urang Baduy bagi seluruh penduduk Kanekes yang tinggal di lereng Pegunungan Kendeng itu bukanlah berasal dari sebutan mereka sendiri. Orang Belanda menyebut mereka badoe'i, badoei, badoewi, Kanekes dan Rawayan (van Hoevel,1845; Jacob and Meijer, 1891; Pennings,1902; Pleyte, 1909; van Tricht, 1929; dan geise, 1952). Penduduk Islam Banten juga menyebut mereka Urang Baduy (orang Baduy), yang besar kemungkinan disebabkan oleh anggapan yang menyamakan dengan kelompok masyarakat pengembara di Arab, orang Badawi. Kemungkinan lain ialah sebutan diri itu diambil dari nama Sungai Cibaduy atau Gunung Baduy yang berada di wilayah mereka.
Adapun sebutan diri yang biasa mereka lakukan ialah mengacu kepada asal kampung, atau paroh masyarakat dari ruang mereka menjadi bagian dari padanya; seperti urang Kanekes (Inner dan Outer Baduy), Urang Panamping (outer Baduy), Urang Girang (Inner Baduy), urang Kaduketug (menyebut asal kampung).
Seluruh penduduk Kanekes adalah Orang Baduy, tidak tercampur oleh penduduk luar, kecuali dari kampung Cicakalgirang terdapat tinggal keluarga Banten Islam, keturunan dari pemukim yang keberadaannya merupakan salah satu persetujuan Puun, pemimpin Baduy dengan Sultan Banten di abad ke-16. Bahasa Baduy termasuk dalam kategori dialek Sunda-Banten, yaitu subdialek Baduy (Meijer, 1891; Widjajakusumah, 1981: 9), tidak dipengaruhi bahasa Jawa Banten seperti halnya subdialek Banten lainnya. Bahasa Baduy tidak dimiliki undak usuk, kola kata dan aksen tinggi dalam lagu kalimat serta beberapa jenis struktur kalimat yang khas. Perkembangan bahasa Sunda di Jawa Barat tampaknya telah menjadikan subdialek Baduy makin jauh dari bahasa Sunda lulugu yang dianggap baku, karena itu pemakaian partikel, bentukan kata, aksen kata dan pemakaian fonem makin berbeda sehingga subdialek Baduy dianggap bahasa tersendiri.

3. Desa Kanekes
Luas wilayah Desa Kanekes 5.101,85 Ha yang merupakan bagian dari kecamatan Leuwidamar, kabupaten DT.II Lebak. Wilayah ini berbukit-bukit dengan kemiringan lereng rata-rata 45 % dan tinggi dari permukaan laut berkisar antara 100 - 150 m (Pemda Kab. Lebak, 1993). Sungai Ciujung yang mengalir di daerah ini mempunyai anak sungai, Cisimeut, Cibarani, Cibeneung, dan Cipatahiang. Sungai-sungai itu mengalir ke bagian utara Banten, yang penduduknya bersawah. Keadaan tanah dapat dibagi dalam 3 bagian, yang di sebelah utara daerah pegunungan vulkanik, bagian tengah endapan tanah pegunungan, dan bagian selatan campuran tanah pegunungan dan endapannya yang menjulang tinggi. Jenis tanah adalah latosol coklat, aluvial coklat dan andosol, sedangkan curah hujan 4.000 mmltahun dengan suhu rata-rata lebih dari 90 °C (Tim forestry Indonesia, 1985:7).
Beberapa ratus tahun yang lalu wilayah Baduy itu lebih luas lagi; sebagaimana pernah dikenal adanya kelompok masyarakat Baduy, orang Baduy Karang di daerah kecamatan Sajira sekarang, dan orang Are merupakan sebutan bagi orang Baduy yang sudah menjadi penduduk Islam di sekitar Kanekes sekarang. Luas asal wilayah Baduy tersebut diperkirakan meliputi beberapa wilayah kecamatan sekarang seperti kecamatan Muncang, Sajira, Cimarga, Maja, Bojongmanik, dan kecamatan Leuwidamar (Garna, 1988). Penyempitan wilayah tersebut dimulai oleh upaya Kesultanan Banten yang kemudian diteruskan oleh pemerintahan Hindia-Belanda melalui upaya Patih Derus (van Tricht, 1929:69-71; Garna, 1978).

4. Populasi
Pada tahun 1888 penduduk Baduy tercatat sebanyak 291 orang yang tinggal di sepuluh buah kampung, tahun 1899 berjumlah 1.407 orang di 26 bush kampung (Jacob and Neijer, 1891; Pennings,1902).
Sebelum sensus penduduk tahun 1930 terdapat 2 laporan tentang penduduk Kanekes, yaitu tahun 1908 berjumlah 1.547 orang (Djajadiningrat, 1928) dan tahun 1928 berjumlah 1.521 orang (van Tricht,1929).
Tahun 1966 dari seluruh penduduk kecamatan Leuwidamar yang berjumlah 22.882 orang itu, orang Baduy berjumlah 3.935 orang; tahun 1980 berjumlah 4.057 orang; dan tahun 1983 berjumlah 4.574 orang (Garna, 1985; 1987; 1988). Pada saat ini jumlah orang Baduy adalah 5.649 orang, yang terdiri dari 2.860 pria dan 2.789 wanita (Profil Desa Kanekes, 1993).

5. Huma: Sumber Mata Pencaharian Hidup
Dalam tradisi kehidupan orang Baduy terdapat 6 jenis huma, yang dibedakan oleh lokasi, fungsi dan pemilikannya, yaitu huma Serang, ladang yang dianggap suci, Tangtu; huma Puun, ladang yang dikerjakan dan khusus bagi Puun; huma tangtu, ladang yang dikerjakan oleh orang Baduy Dalam atau orang tangtu; huma Tuladan atau huma Jaro, ladang Jaro pamarentah yang wajib dikerjakan oleh warga Baduy Panamping atau Baduy Luar; huma Panamping, yaitu ladang warga Panamping yang dikerjakan sendiri bersama keluarganya; dan huma Urang Baduy, yaitu ladang di luar Desa Kanekes yang disewa secara bagi hasil atau sewa uang dengan warga desa lain (Garna,1988).
Padi atau pare yang ditanam adalah jenis padi lokal, yang secara turun-temurun diperoleh dari pare indung atau bibit padi masa tanam sebelumnya. Selain padi orang Baduy mengenal hampir 80 jenis tanaman untuk huma (Tim Forestry Indonesia, 1985), seperti Hamiru (Veronea arborea Buch), hiris (Cajanus cajan gobi L.), jaat (Psopapocarpus tetragonolobus Dc.), roay (Dolichoslablab), dan walu (Sesamun indicum). Selain itu mereka mengenal kira-kira sebanyak 54 tanaman hutan, termasuk jenis kayu, seperti angsana (Peterocafpus omdohcuus Willd), kawung (Arenga pinnata (Wrumb) Merr), binglu (Mangifera caosia Jack cx Wall).
Tabel 1. Proses Berhuma Orang Baduy

No.
Bulan
Jenis Kegiatan
Di
I
Kapat
Narawas
Tangtu, Dangku,
2
Kalima
Narawas
Panamping
3
Kanem
Nyacar, Nukuh
Tangtu, Dangku,
4
Katujuh
Ganggang, Ngaduruk
Panamping
5
Kadalapan
Ngaseuk
Tangtu, Dangku,
6
Kasalapan
Ngaseuk
Panamping
7
Hapit Lemah
Ngaseuk
Tangtu
9
Kapit Kayu
Ngirab sawan, Ngubaran
Huma serang
10
Kasa
Ngirab sawan,Ngubaran
Tangtu
11
Karo
Dibuat
Dangka, Panamping
12
Katiga
Dibuat
Tangtu, Dangka,



Panamping



Huma serang



Huma Puun



Tangtu, Dangka,



Panamping

Keterangan : Tangtu = Inner Baduy, Dangka = Baduy enclave, panamping = Outer Baduy, huma serang = huma suci, huma Puun = huma milik Puun.

Proses atau pengerjaan huma dilakukan menurut urutan penanggalan Baduy, sebutan bulan itu tidak sama dengan bahasa Sunda Priangan. Proses itu mulai dengan narawas nyacar nukuh ganggang ngaduruk ngaseuk ngirab sawan ngubaran mipit dibuat dilantaykeun; kemudian barulah ngujal atau diangkut ke leuit (lumbung padi) di kampung. Dilantaykeun ialah akhir dari proses berhuma, yaitu mengeringkan padi di pinggiran huma dengan menggunakan tiang bambu. Huma serang dianggap penting karena tidak hanya merupakan kerja awal berhuma bagi seluruh Orang Baduy tetapi juga cerminan keberhasilan penanaman padi. Padi yang dihasilkan dari huma itu terutama untuk keperluan upacara kawalu dan seba sebagai bahan untuk ngalaksa, makanan penting dalam kedua upacara tersebut.
Pria dan wanita, termasuk anak-anak bekerja bersama di huma. Pria melakukan nyacar sampai ngaduruk, sedangkan wanita menumpukkan ranting-ranting untuk kemudian disuruk atau dibakar oleh pria. Bagian penting dari penanaman pare indung (bibit padi utama) dilakukan pria di bagian tengah huma, bagian itu disebut pungpuhunan, yang melambangkan Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi. Kaum pria melakukan muuhan, yaitu membuat lobang dengan aseuk atau tugal kayu, dan wanita menyimpan benih padi di dalamnya, ngored, membersihkan rerumputan dengan alat kored dilakukan wanita, ngubaran pare oleh pria, dan dibuat atau dipanen didahului oleh mipit, memetik pare indung dilakukan oleh pria, kemudian padi itu dikeringkan di sekitar pungpuhunan sampai selesai panen.

6. Struktur dan Organisasi Sosial
Orang Baduy hidup mengelompok menurut asal keturunan dari Tangtu (Inner Baduy) sehingga merupakan keluarga luas yang diikat oleh suatu teritorial atau sejumlah kampung. Ada tiga kelompok kekerabatan dalam kesatuan tangtu itu ialah kelompok tangtu Cikeusik, Cikartawana, dan tangtu Cibeo. Walaupun terdapat kecenderungan uksorilokal, suami istri tinggal dekat kerabat pria (Geise,1952), biasanya seorang pria tangtu itu membawa istrinya ke kampung tempat keluarga luasnya tinggal dan membuat rumah bare. Bagi kelompok masyarakat Baduy Luar (Panamping) tempat tinggal pasangan suami istri baru akan tergantung oleh tersedianya lahan huma atau kemungkinan lainnya. Pada hakekatnya tampak masih terkait hubungan kerabat atau orientasi warga kampung Panamping terhadap kampung Tangtu, atau orientasi menurut alur sistem kekerabatan.
Puun yang berjumlah tiga orang di kampung Tangtu, Cibeo, Cikartawan, dan Cikeusik adalah pemimpin pikukuh (adat, aturan warisan nenek moyang) dan agama Sunda Wiwitan. Para puun itu mengatur tatanan dan fungsi para pemimpin lainnya, sebagai terungkap dari kungkurungan tangtu telu faro tujuh (terlingkup oleh tiga tangtu dan tujuh jaro), yang dipancarkan dalam kegiatan hidup orang Baduy melalui pikukuh sebagai kaidah-kaidah dari karuhun (nenek moyang) yang harus dilaksanakan dari masa ke masa (Garna, 1988). Struktur yang memberi acuan terhadap arah perhatian orang Baduy itu terungkap pula dari pemberian nama untuk setiap kampung Tangtu. Cikeusik ialah Tangtu Padaageung, Cibeo, Tangtu Parahiang, dan Cikartawan adalah Tangtu Kadukujang. Setiap kampung Tangtu berkaitan dengan sejumlah kampung dangka, yaitu kampung di luar Kanekes yang dianggap wilayah Baduy; dangka Padawaras (Cibengkung), dangka Garukgak (Kompol) Padaageung (Cikeusik); Cibeo dangka Sirah Dayeuh (Cihandam), dangka Carungeun dan Cipatik (dalam desa Kanekes); Cikartawana dangka Sanghyang Asuh (Cilenggor), dangka Sindang Nyair (Nungkulan), dan dangka Inggung (Panyaweuyan). Sekarang dari sembilan dangka itu, hanya dua dangka, Padawaras (di kampung Cibengkung) dan Sirah Dayeuh (di kampung Cihandam) yang terletak di luar desa Kanekes, dangka lainnya ditarik kedudukannya ke dalam desa. Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan formal `diakui' oleh para pemimpin adat Baduy, yang dalam struktur sosial mereka relatif tidak banyak merubah tatanannya. Kepala Desa, yang di wilayah Banten Selatan dikenal dengan sebutan jaro, bagi orang Baduy disebut Jaro Pamarentah (Jaro Gubernemen). Jaro itu bertindak sebagai penghubung antara para pemimpin adat dan agama Baduy dengan pemerintah formal, karena itu wilayah mereka disebut desa pun tak menjadi masalah. Di setiap kampung Baduy, terutama kampung-kampung Panamping (Outer Baduy), seperti juga di wilayah desa lainnya terdapat RK (Rukun Kampung), yang untuk desa Kanekes ketua RK disebut kokolotan lembur. Sedangkan pemimpin adat atau agama Baduy disetiap kampung (lembur) disebut Lagondi dan Putih Seda Hurip, yang juga disebut bagawan sawidak lima nenek moyang Baduy Dalam (Inner Baduy); Orang Baduy Luar (Outer Baduy) keturunan para daleum lainnya (Garna, 1988). Sampai akhir abad ke-19 dicatat oleh Jacod dan Meijer sudah terjadi 13 kali pergantian Puun, dan sampai tahun 1988 di Cikeusik sudah mengalami 24 kali pergantian Puun (Garna, 1988).
Karuhun ialah nenek moyang atau generasi pendahulu orang Baduy yang sudah meninggal, mereka dianggap berkumpul di kabuyutan, yaitu Sasaka Domas di hutan tua hulu sungai Ciujung. Dikenal pula makhluk-makhluk halus, yaitu guriang, sanghyang dan wangatua sebagai jelmaan nenek moyang yang mampu melindungi para keturunannya. Buana atau dunia ada tiga, buana nyuncung (dunia atas) yang luas tak terbatas, buana tengah ialah tempat melakukan sebagian besar pengembaraannya, dan buana handap atau buana rarang (buana bawah, tanah) yang juga tak terbatas luasnya. Berkaitan dengan buana itu, mereka juga mengenal ambu (wanita, ibu), yaitu ambu luhur, ambu tengah, dan ambu handap atau ambu rarang, mereka berada di setiap buana sesuai dengan sebutannya.
Pikukuh atau aturan dalam Sunda Wiwitan tak terlepas dari ketentuan untuk: (1) ngabarataakeun inti jagat dan dunia; (2) ngareremokeun, menghormati dengan menjodohkan dewi padi, Sanghyang Asri; dan (3) mengekalkan pikukuh dengan melaksanakan semua ketentuan itu. Baduy Dalam dan Luar, atau Tangtu dan Panamping, ialah dua paroh masyarakat dalam satu satuan budaya serta masyarakat Baduy yang tak terpisahkan, yang juga diikat oleh pikukuh dalam agama Sunda Wiwitan.

7. Baduy Menyimpan Karakteristik Sosial Sunda-Lama
Pengaruh Hindu di Jawa Barat berlangsung secara damai melalui lapisan atas, atau para penguasa kerajaan Sunda Lama, hal itu telah memberi peluang bagi lapisan rakyatnya untuk tetap melangsungkan dan mengembangkan tradisi Sunda pra-Hindu. Karena itu besar kemungkinan tradisi proto-Melayu tetap hidup dan menjadi ciri penting. Dengan pengalaman orang Baduy tersebut, pengaruh-pengaruh yang datang kemudian lebih keras, baik penyebaran Islam di wilayah Banten melalui peperangan maupun penguasaan kolonial Belanda yang strategik itu, sejauh ini mampu disaring melalui mekanisme budaya mereka. Demikian pula halnya setelah kemerdekaan, ajakan dan dorongan pemerintah melalui berbagai program pembangunan masih bisa ditolak, diabaikan maupun bersikap adaptif tanpa merubah tatanan sosialnya (Garna,1975).
Pengembaraan hidup orang Baduy itu telah memberikan pengalaman situasional yang sangat berarti. Akhirnya orang Baduy memiliki warna kehidupan yang Sunda-Lama, Sunda Hindu, Islam dan pemikiran modernisasi, yang setiap unsur itu dijalin sedemikian rupa menjadi bagian integratif dalam budaya Baduy. Tradisi megalitik mengungkapkan penghormatan kepada kabuyutan. Lebak si Bedug di Selatan Kanekes, Kosala di sebelah timur Kanekes, Batu Sirit di barat daya Jasinga adalah sejumlah kabuyutan yang sudah ditinggalkan oleh para pemujanya, yaitu sejak kerajaan Pajajaran ditaklukkan Islam melalui peperangan pada akhir abad ke-16. Sasaka Pusaka Buana, kabuyutan orang Baduy masih tetap berlangsung, kemungkinan besar tak terganggu karena ada kesepakatan antara Sultan Banten Hasanuddin dengan orang Baduy yang telah mengakui kekuasaan Kerajaan Islam Banten tersebut. Penempatan seorang amil di kampung Cicakalgirang dalam desa Kanekes itu dianggap juga pengakuan Kanekes terhadap Islam. Apalagi dengan melakukan seba setiap selesai panen ke Serang pusat Kerajaan Banten sudah dipandang Sultan sebagai ungkapan tunduk kepada Islam. Atas dasar alasan-alasan tersebut maka orang Baduy tidak dikejar dan dihancurkan oleh penguasa Kesultanan Banten.
Manakala VOC (Verenigne Oost Indische Compagnie) menyerahkan kekuasaan berbagai wilayah Indonesia kepada pemerintahan Hindia Belanda, Banten di bawah kekuasaan resident yang membawahi beberapa regentschap (kabupaten). Ibukota kabupaten Lebak yang waktu itu berada di wilayah Leuwidamar sekarang, sedangkan wilayah Baduy langsung berada di bawah asistent-resident der Zuider-districten van Lebak. Perubahan kekuasaan itu perlu diimbangi oleh Kanekes, yaitu para puun memberi tugas kepada salah seorang suku lampah puun (pembantu puun) yang disebut jaro warega sebagai penghubung antara dunia luar dengan Kanekes. Adanya jaro warega itu tidaklah mengganggu sistem jaro sebagai kelompok pemimpin peringkat ketiga, karena dianggap dalam kategori suku lampah puun itu. Hal itu kemudian terbukti, yaitu sewaktu kepala desa diperlukan dalam sistem pemerintahan desa yang baru, jaro warega tetap berfungsi dalam hal keagamaan dan adat bagi Baduy Panamping dan Dangka, posisi baru ditambah dengan seorang jaro, yaitu Jaro Gubernemen sebagai Kepala Desa Kanekes. Bagi orang Baduy pikukuh ialah titipan karuhun, yang secara tegas dinyatakan bahwa;
Buyut nu dititipkeun ka puun                            buyut yang  dititipkan kepada puun
Nagara satelung puluh telu                               negara satelung puluh telu
Bagawan sawidak lima                                    bagawan sawidak lima
Pancer salawe nagara                                     pancer salawe nagara
Gunung teu meunang dilebur                           gunung tak boleh dilebur
Lebak teu meunang diruksak                          lembah tak boleh dirusak
Larangan teu meunang dirempak                      larangan tak boleh dilanggar
Buyut teu meunang dirobah                             buyut tak boleh dirobah
Lojor teu meunang dipotong                             Panjang, tak boleh dipotong
Pondok teu meunang disambung                     pendek, tak boleh disambung
Nu lain kudu dilainkeun                                   yang bukan, ditiadakan
Nu ulah kudu diulahkeun                                 yang jangan, nafikan
Nu enya kudu dienyakeun                                yang benar, dibenarkan

(Prof. H. Judistira Garna, Ph.D)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar