A. PENDAHULUAN
Wilayah Banten
yang meliputi empat daerah, Kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak dan Tangerang
itu telah menjalani dan mengalami proses sejarah yang panjang. Jalan lintas
Sumatera - Jawa melalui wilayah ini mulai berlangsung intensif di akhir abad
ke-19; dengan jumlah penduduk yang relatif kecil masa lampau dan kini (2.616.787
orang, tahun 1989) dibandingkan dengan wilayahnya yang luas itu, budaya
penduduknya mampu menyimpan identitas tersendiri serta jiwa heroisme yang
tinggi.
Kelompok
masyarakat Baduy di Kanekes adalah pemukim daerah itu yang telah berada di
sana jauh
sebelum masa kejayaan Kerajaan Pajajaran. Migrasi dua kelompok masyarakat Melayu
Awal dan Melayu Akhir di masa silam bukan saling desak melalui peperangan,
tetapi berlangsung secara damai dengan saling memberi lahan hidup. Daerah
penghunian dan lahan kegiatan hidupnya yang luas itu, kemudian memberi peluang
mengembangkan kebudayaannya serta kualitas kehidupan yang makin tak sama dengan
kelompok lainnya.
Kiranya perlu
untuk memahami makna sebenarnya dari konsep tradisi, tradisional, pelestarian
dan nilai-nilai budaya agar tepat pemakaiannya. Tradisi ialah adat atau
kebiasaan sosial yang diturunkan dari suatu generasi kepada generasi lainnya
melalui proses sosialisasi, yaitu pembentukan tingkah laku melalui pengalaman di
dalam keadaan sosial tertentu. Manakala setiap individu itu lahir dan berada ke
dalam satu sistem sosial yang akan memberi tekanan kepadanya akan norma dan
nilai yang harus diterima oleh individu tesebut sebagai warga masyarakatnya.
Tradisi itu menentukan nilai dan moral suatu masyarakat, termasuk aturan tentang
salah-benar, atau baik-buruk sesuatu yang dilihat.
Konsep tradisi
juga meliputi worldview, atau pandangan dunia yang mengaitkan kepercayaan
tentang masalah hidup-mati dan peristiwa-peristiwa alam serta makhluknya. Dengan
demikian konsep tradisi terkait erat dengan sistem kepercayaan, nilai-nilai dan
cara berfikir suatu masyarakat. Masyarakat tradisional Banten diartikan suatu
masyarakat yang memiliki tradisi-tradisi tertentu sebagai karakteristiknya.
Pelestarian seharusnya mengandung hakekat untuk mengekalkan berbagai ciri itu
yang telah diperoleh budaya tersebut melalui proses kehidupannya dan pengaruh
yang diterima. Pelestarian itu tidak menolak pengaruh- pengaruh luar, manakala
pengaruh itu mampu diserap dan diolah menjadi bagian pelengkap budayanya.
Sedangkan setiap kebudayaan, termasuk budaya wilayah Banten, akan memiliki
mekanisme semacam itu dalam sistem budaya mereka; seperti dapat dikemukakan
(Garna,1982) bahwa;
B. ORANG BADUY DI KANEKES
1. Orang Baduy di Kanekes
Orang Baduy yang
bermukim di desa Kanekes,_ wilayah kecamatan Leuwi Damar, kabupaten Lebak,
Banten; dianggap memiliki ciri-ciri sosial budaya seperti masyarakat Sunda Lama,
yang kini sistem sosial seperti itu telah pudar pada kelompok masyarakat lain di
Jawa Barat (van Hoevell, 1844; Blume, 1845; Korders, 1869a, 1869b; von Ende,
1889; Jacob and Meijer, 1891; van richt, 1929, 1930; Geise, 1952; Berthe, 1965,
1970; Garna, 1975a, 1975b, 1980, 1984, 1985, 1987a, 1987b, 1987c, 1988, 1990,
dan 1991). Untuk memahami dan meneliti aspek lainnya tentang orang Baduy akan
memerlukan rekonstruksi, gambaran tentang mereka, termasuk struktur dan
organisasi sosial, melalui kesan-kesan yang diperoleh dari serangkaian hasil
penelitian dan analisis eksistensi orang Baduy.
Dari berbagai
situs purbakala di wilayah Banten bagian selatan, Lebak si Bedug, Kosala, Gunung
Dangka, dan Sasaka Domas di Kanekes, dapat menunjukkan bahwa budaya megalitik
ialah lingkungan budaya orang Baduy masa lalu yang berlanjut hingga masa kini.
Demikian pula halnya dengan penghormatan kepada nenek moyang (kabuyutan), salah
satu ciri penting dalam sistem kepercayaan Nusantara, yang bagi orang Baduy
hingga kini hampir tak tergoyahkan oleh pengaruh luar
masyarakatnya.
Di wilayah Banten
pengaruh luar diawali oleh kebudayaan Hindu melalui agama yang dianut oleh para
penguasa kerajaan Tarumanagara dan Pajajaran serta kerajaan kecil lainnya di
wilayah Banten atau Jawa Barat bagian tengah. Pada abad ke-16 kekuasaan
Pajajaran itu terdesak dan sirna oleh penyebaran Islam yang dilakukan oleh
kesultanan Cirebon dengan bantuan kerajaan Demak, kemudian
berdirilah kesultanan Banten yang Islam. Orang Baduy tampaknya hanya tersentuh
sedikit saja oleh kuasa kerajaan lama dan baru yang menguasai wilayah luas
Banten itu. Pengaruh Barat yang pada masa kerajaan Pajajaran datang melalui
pelabuhan Sunda Kelapa, dan pada masa kesultanan Banten melalui perdagangan
pesat di pelabuhan Banten Lama tampaknya tidak juga banyak mempengaruhi
kehidupan orang Baduy. Kecenderungan bahwasanya makin tinggi arus pengaruh
budaya luar makin mantap sistem sosial orang Baduy merupakan hal yang menarik
guna memahami kelompok masyarakat ini. Pusat kekuasaan kerajaan Sunda-Hindu
maupun Islam itu adalah terletak di pedalaman, walupun demikian mereka mampu
berhubungan cepat dengan dunia luar karena memiliki pelabuhan di pantai laut
Sunda Kelapa dan Banten Lama yang dihubungkan pada pusat kerajaan melalui
sungai.
2. Nama dan Bahasa
Sebutan Urang
Baduy bagi seluruh penduduk Kanekes yang tinggal di lereng Pegunungan Kendeng
itu bukanlah berasal dari sebutan mereka sendiri. Orang Belanda menyebut mereka
badoe'i, badoei, badoewi, Kanekes dan Rawayan (van
Hoevel,1845; Jacob and Meijer, 1891; Pennings,1902; Pleyte, 1909; van Tricht,
1929; dan geise, 1952). Penduduk Islam Banten juga menyebut mereka Urang
Baduy (orang Baduy), yang besar kemungkinan disebabkan oleh anggapan yang
menyamakan dengan kelompok masyarakat pengembara di Arab, orang Badawi.
Kemungkinan lain ialah sebutan diri itu diambil dari nama Sungai Cibaduy atau
Gunung Baduy yang berada di wilayah mereka.
Adapun sebutan
diri yang biasa mereka lakukan ialah mengacu kepada asal kampung, atau paroh
masyarakat dari ruang mereka menjadi bagian dari padanya; seperti urang
Kanekes (Inner dan Outer Baduy), Urang Panamping (outer Baduy),
Urang Girang (Inner Baduy), urang Kaduketug (menyebut asal
kampung).
Seluruh penduduk
Kanekes adalah Orang Baduy, tidak tercampur oleh penduduk luar, kecuali dari
kampung Cicakalgirang terdapat tinggal keluarga Banten Islam, keturunan
dari pemukim yang keberadaannya merupakan salah satu persetujuan Puun, pemimpin
Baduy dengan Sultan Banten di abad ke-16. Bahasa Baduy termasuk dalam kategori
dialek Sunda-Banten, yaitu subdialek Baduy (Meijer, 1891; Widjajakusumah, 1981:
9), tidak dipengaruhi bahasa Jawa Banten seperti halnya subdialek Banten
lainnya. Bahasa Baduy tidak dimiliki undak usuk, kola kata dan aksen tinggi
dalam lagu kalimat serta beberapa jenis struktur kalimat yang khas. Perkembangan
bahasa Sunda di Jawa Barat tampaknya telah menjadikan subdialek Baduy makin jauh
dari bahasa Sunda lulugu yang dianggap baku, karena itu pemakaian
partikel, bentukan kata, aksen kata dan pemakaian fonem makin berbeda sehingga
subdialek Baduy dianggap bahasa tersendiri.
3. Desa Kanekes
Luas wilayah Desa
Kanekes 5.101,85 Ha yang merupakan bagian dari kecamatan Leuwidamar, kabupaten
DT.II Lebak. Wilayah ini berbukit-bukit dengan kemiringan lereng rata-rata 45 %
dan tinggi dari permukaan laut berkisar antara 100 - 150 m (Pemda Kab. Lebak,
1993). Sungai Ciujung yang mengalir di daerah ini mempunyai anak sungai,
Cisimeut, Cibarani, Cibeneung, dan Cipatahiang. Sungai-sungai itu mengalir ke
bagian utara Banten, yang penduduknya bersawah. Keadaan tanah dapat dibagi dalam
3 bagian, yang di sebelah utara daerah pegunungan vulkanik, bagian tengah
endapan tanah pegunungan, dan bagian selatan campuran tanah pegunungan dan
endapannya yang menjulang tinggi. Jenis tanah adalah latosol coklat, aluvial
coklat dan andosol, sedangkan curah hujan 4.000 mmltahun dengan suhu rata-rata
lebih dari 90 °C (Tim forestry Indonesia, 1985:7).
Beberapa ratus
tahun yang lalu wilayah Baduy itu lebih luas lagi; sebagaimana pernah dikenal
adanya kelompok masyarakat Baduy, orang Baduy Karang di daerah kecamatan Sajira
sekarang, dan orang Are merupakan sebutan bagi orang Baduy yang sudah menjadi
penduduk Islam di sekitar Kanekes sekarang. Luas asal wilayah Baduy tersebut
diperkirakan meliputi beberapa wilayah kecamatan sekarang seperti kecamatan
Muncang, Sajira, Cimarga, Maja, Bojongmanik, dan kecamatan Leuwidamar (Garna,
1988). Penyempitan wilayah tersebut dimulai oleh upaya Kesultanan Banten yang
kemudian diteruskan oleh pemerintahan Hindia-Belanda melalui upaya Patih Derus
(van Tricht, 1929:69-71; Garna, 1978).
4. Populasi
Pada tahun 1888
penduduk Baduy tercatat sebanyak 291 orang yang tinggal di sepuluh buah kampung,
tahun 1899 berjumlah 1.407 orang di 26 bush kampung (Jacob and Neijer, 1891;
Pennings,1902).
Sebelum sensus
penduduk tahun 1930 terdapat 2 laporan tentang penduduk Kanekes, yaitu tahun
1908 berjumlah 1.547 orang (Djajadiningrat, 1928) dan tahun 1928 berjumlah 1.521
orang (van Tricht,1929).
Tahun 1966 dari
seluruh penduduk kecamatan Leuwidamar yang berjumlah 22.882 orang itu, orang
Baduy berjumlah 3.935 orang; tahun 1980 berjumlah 4.057 orang; dan tahun 1983
berjumlah 4.574 orang (Garna, 1985; 1987; 1988). Pada saat ini jumlah orang
Baduy adalah 5.649 orang, yang terdiri dari 2.860 pria dan 2.789 wanita (Profil
Desa Kanekes, 1993).
5. Huma: Sumber Mata Pencaharian
Hidup
Dalam tradisi
kehidupan orang Baduy terdapat 6 jenis huma, yang dibedakan oleh lokasi, fungsi
dan pemilikannya, yaitu huma Serang, ladang yang dianggap suci, Tangtu; huma
Puun, ladang yang dikerjakan dan khusus bagi Puun; huma tangtu,
ladang yang dikerjakan oleh orang Baduy Dalam atau orang tangtu; huma
Tuladan atau huma Jaro, ladang Jaro pamarentah yang wajib
dikerjakan oleh warga Baduy Panamping atau Baduy Luar; huma Panamping,
yaitu ladang warga Panamping yang dikerjakan sendiri bersama keluarganya; dan
huma Urang Baduy, yaitu ladang di luar Desa Kanekes yang disewa secara
bagi hasil atau sewa uang dengan warga desa lain
(Garna,1988).
Padi atau pare
yang ditanam adalah jenis padi lokal, yang secara turun-temurun diperoleh dari
pare indung atau bibit padi masa tanam sebelumnya. Selain padi orang
Baduy mengenal hampir 80 jenis tanaman untuk huma (Tim Forestry Indonesia,
1985), seperti Hamiru (Veronea arborea Buch), hiris (Cajanus cajan
gobi L.), jaat (Psopapocarpus tetragonolobus Dc.), roay
(Dolichoslablab), dan walu (Sesamun indicum). Selain itu mereka mengenal
kira-kira sebanyak 54 tanaman hutan, termasuk jenis kayu, seperti angsana
(Peterocafpus omdohcuus Willd), kawung (Arenga pinnata (Wrumb) Merr), binglu
(Mangifera caosia Jack cx Wall).
Tabel 1. Proses
Berhuma Orang Baduy
No.
|
Bulan
|
Jenis
Kegiatan
|
Di
|
I
|
Kapat
|
Narawas
|
Tangtu,
Dangku,
|
2
|
Kalima
|
Narawas
|
Panamping
|
3
|
Kanem
|
Nyacar,
Nukuh
|
Tangtu,
Dangku,
|
4
|
Katujuh
|
Ganggang,
Ngaduruk
|
Panamping
|
5
|
Kadalapan
|
Ngaseuk
|
Tangtu,
Dangku,
|
6
|
Kasalapan
|
Ngaseuk
|
Panamping
|
7
|
Hapit
Lemah
|
Ngaseuk
|
Tangtu
|
9
|
Kapit
Kayu
|
Ngirab
sawan, Ngubaran
|
Huma
serang
|
10
|
Kasa
|
Ngirab
sawan,Ngubaran
|
Tangtu
|
11
|
Karo
|
Dibuat
|
Dangka,
Panamping
|
12
|
Katiga
|
Dibuat
|
Tangtu,
Dangka,
|
Panamping
| |||
Huma
serang
| |||
Huma
Puun
| |||
Tangtu,
Dangka,
| |||
Panamping
|
Keterangan : Tangtu = Inner Baduy,
Dangka = Baduy enclave, panamping = Outer Baduy, huma serang =
huma suci, huma Puun = huma milik Puun.
Proses atau
pengerjaan huma dilakukan menurut urutan penanggalan Baduy, sebutan bulan itu
tidak sama dengan bahasa Sunda Priangan. Proses itu mulai dengan narawas
→ nyacar → nukuh → ganggang → ngaduruk → ngaseuk → ngirab sawan → ngubaran → mipit → dibuat → dilantaykeun; kemudian barulah ngujal
atau diangkut ke leuit (lumbung padi) di kampung. Dilantaykeun ialah
akhir dari proses berhuma, yaitu mengeringkan padi di pinggiran huma dengan
menggunakan tiang bambu. Huma serang dianggap penting karena tidak hanya
merupakan kerja awal berhuma bagi seluruh Orang Baduy tetapi juga cerminan
keberhasilan penanaman padi. Padi yang dihasilkan dari huma itu terutama untuk
keperluan upacara kawalu dan seba sebagai bahan untuk
ngalaksa, makanan penting dalam kedua upacara
tersebut.
Pria dan wanita,
termasuk anak-anak bekerja bersama di huma. Pria melakukan nyacar sampai
ngaduruk, sedangkan wanita menumpukkan ranting-ranting untuk kemudian
disuruk atau dibakar oleh pria. Bagian penting dari penanaman pare indung
(bibit padi utama) dilakukan pria di bagian tengah huma, bagian itu
disebut pungpuhunan, yang melambangkan Nyi Pohaci Sanghyang Asri,
dewi padi. Kaum pria melakukan muuhan, yaitu membuat lobang dengan
aseuk atau tugal kayu, dan wanita menyimpan benih padi di dalamnya,
ngored, membersihkan rerumputan dengan alat kored dilakukan
wanita, ngubaran pare oleh pria, dan dibuat atau dipanen didahului oleh
mipit, memetik pare indung dilakukan oleh pria, kemudian padi itu
dikeringkan di sekitar pungpuhunan sampai selesai
panen.
6. Struktur dan
Organisasi Sosial
Orang Baduy hidup
mengelompok menurut asal keturunan dari Tangtu (Inner Baduy) sehingga
merupakan keluarga luas yang diikat oleh suatu teritorial atau sejumlah kampung.
Ada tiga
kelompok kekerabatan dalam kesatuan tangtu itu ialah kelompok tangtu
Cikeusik, Cikartawana, dan tangtu Cibeo. Walaupun terdapat
kecenderungan uksorilokal, suami istri tinggal dekat kerabat pria (Geise,1952),
biasanya seorang pria tangtu itu membawa istrinya ke kampung tempat
keluarga luasnya tinggal dan membuat rumah bare. Bagi kelompok masyarakat
Baduy Luar (Panamping) tempat tinggal pasangan suami istri baru akan tergantung
oleh tersedianya lahan huma atau kemungkinan lainnya. Pada hakekatnya tampak
masih terkait hubungan kerabat atau orientasi warga kampung Panamping terhadap
kampung Tangtu, atau orientasi menurut alur sistem
kekerabatan.
Puun yang berjumlah tiga orang di
kampung Tangtu, Cibeo, Cikartawan, dan Cikeusik adalah pemimpin pikukuh
(adat, aturan warisan nenek moyang) dan agama Sunda Wiwitan. Para puun itu mengatur tatanan dan fungsi para pemimpin
lainnya, sebagai terungkap dari kungkurungan tangtu telu faro tujuh
(terlingkup oleh tiga tangtu dan tujuh jaro), yang dipancarkan dalam kegiatan
hidup orang Baduy melalui pikukuh sebagai kaidah-kaidah dari
karuhun (nenek moyang) yang harus dilaksanakan dari masa ke masa (Garna,
1988). Struktur yang memberi acuan terhadap arah perhatian orang Baduy itu
terungkap pula dari pemberian nama untuk setiap kampung Tangtu. Cikeusik ialah
Tangtu Padaageung, Cibeo, Tangtu Parahiang, dan Cikartawan adalah
Tangtu Kadukujang. Setiap kampung Tangtu berkaitan dengan sejumlah
kampung dangka, yaitu kampung di luar Kanekes yang dianggap wilayah
Baduy; dangka Padawaras (Cibengkung), dangka Garukgak (Kompol)
→ Padaageung (Cikeusik);
Cibeo → dangka Sirah Dayeuh
(Cihandam), dangka Carungeun dan Cipatik (dalam desa Kanekes);
Cikartawana → dangka Sanghyang Asuh
(Cilenggor), dangka Sindang Nyair (Nungkulan), dan dangka Inggung
(Panyaweuyan). Sekarang dari sembilan dangka itu, hanya dua dangka,
Padawaras (di kampung Cibengkung) dan Sirah Dayeuh (di kampung
Cihandam) yang terletak di luar desa Kanekes, dangka lainnya ditarik
kedudukannya ke dalam desa. Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan
formal `diakui' oleh para pemimpin adat Baduy, yang dalam struktur sosial mereka
relatif tidak banyak merubah tatanannya. Kepala Desa, yang di wilayah Banten
Selatan dikenal dengan sebutan jaro, bagi orang Baduy disebut Jaro
Pamarentah (Jaro Gubernemen). Jaro itu bertindak sebagai penghubung
antara para pemimpin adat dan agama Baduy dengan pemerintah formal, karena itu
wilayah mereka disebut desa pun tak menjadi masalah. Di setiap kampung Baduy,
terutama kampung-kampung Panamping (Outer Baduy), seperti juga di wilayah desa
lainnya terdapat RK (Rukun Kampung), yang untuk desa Kanekes ketua RK disebut
kokolotan lembur. Sedangkan pemimpin adat atau agama Baduy disetiap
kampung (lembur) disebut Lagondi dan Putih Seda Hurip, yang juga
disebut bagawan sawidak lima nenek moyang Baduy Dalam (Inner Baduy);
Orang Baduy Luar (Outer Baduy) keturunan para daleum lainnya (Garna,
1988). Sampai akhir abad ke-19 dicatat oleh Jacod dan Meijer sudah terjadi 13
kali pergantian Puun, dan sampai tahun 1988 di Cikeusik sudah mengalami 24 kali
pergantian Puun (Garna, 1988).
Karuhun ialah
nenek moyang atau generasi pendahulu orang Baduy yang sudah meninggal, mereka
dianggap berkumpul di kabuyutan, yaitu Sasaka Domas di hutan tua
hulu sungai Ciujung. Dikenal pula makhluk-makhluk halus, yaitu guriang,
sanghyang dan wangatua sebagai jelmaan nenek moyang yang mampu
melindungi para keturunannya. Buana atau dunia ada tiga, buana nyuncung
(dunia atas) yang luas tak terbatas, buana tengah ialah tempat melakukan
sebagian besar pengembaraannya, dan buana handap atau buana rarang
(buana bawah, tanah) yang juga tak terbatas luasnya. Berkaitan dengan buana itu,
mereka juga mengenal ambu (wanita, ibu), yaitu ambu luhur, ambu
tengah, dan ambu handap atau ambu rarang, mereka berada di
setiap buana sesuai dengan sebutannya.
Pikukuh atau
aturan dalam Sunda Wiwitan tak terlepas dari ketentuan untuk: (1)
ngabarataakeun inti jagat dan dunia; (2) ngareremokeun,
menghormati dengan menjodohkan dewi padi, Sanghyang Asri; dan (3) mengekalkan
pikukuh dengan melaksanakan semua ketentuan itu. Baduy Dalam dan Luar, atau
Tangtu dan Panamping, ialah dua paroh masyarakat dalam satu satuan budaya serta
masyarakat Baduy yang tak terpisahkan, yang juga diikat oleh pikukuh dalam agama
Sunda Wiwitan.
7. Baduy Menyimpan
Karakteristik Sosial Sunda-Lama
Pengaruh Hindu di
Jawa Barat berlangsung secara damai melalui lapisan atas, atau para penguasa
kerajaan Sunda Lama, hal itu telah memberi peluang bagi lapisan rakyatnya untuk
tetap melangsungkan dan mengembangkan tradisi Sunda pra-Hindu. Karena itu besar
kemungkinan tradisi proto-Melayu tetap hidup dan menjadi ciri penting. Dengan
pengalaman orang Baduy tersebut, pengaruh-pengaruh yang datang kemudian lebih
keras, baik penyebaran Islam di wilayah Banten melalui peperangan maupun
penguasaan kolonial Belanda yang strategik itu, sejauh ini mampu disaring
melalui mekanisme budaya mereka. Demikian pula halnya setelah kemerdekaan,
ajakan dan dorongan pemerintah melalui berbagai program pembangunan masih bisa
ditolak, diabaikan maupun bersikap adaptif tanpa merubah tatanan sosialnya
(Garna,1975).
Pengembaraan
hidup orang Baduy itu telah memberikan pengalaman situasional yang sangat
berarti. Akhirnya orang Baduy memiliki warna kehidupan yang Sunda-Lama, Sunda
Hindu, Islam dan pemikiran modernisasi, yang setiap unsur itu dijalin sedemikian
rupa menjadi bagian integratif dalam budaya Baduy. Tradisi megalitik
mengungkapkan penghormatan kepada kabuyutan. Lebak si Bedug di Selatan Kanekes,
Kosala di sebelah timur Kanekes, Batu Sirit di barat daya Jasinga adalah
sejumlah kabuyutan yang sudah ditinggalkan oleh para pemujanya, yaitu sejak
kerajaan Pajajaran ditaklukkan Islam melalui peperangan pada akhir abad ke-16.
Sasaka Pusaka Buana, kabuyutan orang Baduy masih tetap berlangsung,
kemungkinan besar tak terganggu karena ada kesepakatan antara Sultan Banten
Hasanuddin dengan orang Baduy yang telah mengakui kekuasaan Kerajaan Islam
Banten tersebut. Penempatan seorang amil di kampung Cicakalgirang dalam
desa Kanekes itu dianggap juga pengakuan Kanekes terhadap Islam. Apalagi dengan
melakukan seba setiap selesai panen ke Serang pusat Kerajaan Banten sudah
dipandang Sultan sebagai ungkapan tunduk kepada Islam. Atas dasar alasan-alasan
tersebut maka orang Baduy tidak dikejar dan dihancurkan oleh penguasa Kesultanan
Banten.
Manakala VOC
(Verenigne Oost Indische Compagnie) menyerahkan kekuasaan berbagai
wilayah Indonesia kepada pemerintahan Hindia
Belanda, Banten di bawah kekuasaan resident yang membawahi beberapa
regentschap (kabupaten). Ibukota kabupaten Lebak yang waktu itu berada di
wilayah Leuwidamar sekarang, sedangkan wilayah Baduy langsung berada di bawah
asistent-resident der Zuider-districten van Lebak. Perubahan kekuasaan
itu perlu diimbangi oleh Kanekes, yaitu para puun memberi tugas kepada salah
seorang suku lampah puun (pembantu puun) yang disebut jaro warega
sebagai penghubung antara dunia luar dengan Kanekes. Adanya jaro warega
itu tidaklah mengganggu sistem jaro sebagai kelompok pemimpin peringkat ketiga,
karena dianggap dalam kategori suku lampah puun itu. Hal itu kemudian
terbukti, yaitu sewaktu kepala desa diperlukan dalam sistem pemerintahan desa
yang baru, jaro warega tetap berfungsi dalam hal keagamaan dan adat bagi
Baduy Panamping dan Dangka, posisi baru ditambah dengan seorang jaro, yaitu
Jaro Gubernemen sebagai Kepala Desa Kanekes. Bagi orang Baduy
pikukuh ialah titipan karuhun, yang secara tegas dinyatakan bahwa;
Buyut nu
dititipkeun ka puun buyut yang dititipkan kepada puun
Nagara
satelung puluh telu negara satelung
puluh telu
Bagawan
sawidak lima bagawan
sawidak lima
Pancer salawe
nagara pancer
salawe nagara
Gunung teu
meunang dilebur gunung tak boleh
dilebur
Lebak teu
meunang diruksak lembah tak boleh
dirusak
Larangan teu
meunang dirempak larangan tak boleh
dilanggar
Buyut teu
meunang dirobah buyut tak boleh
dirobah
Lojor teu
meunang dipotong Panjang, tak boleh
dipotong
Pondok teu
meunang disambung pendek, tak boleh
disambung
Nu lain kudu
dilainkeun yang bukan,
ditiadakan
Nu ulah kudu
diulahkeun yang jangan,
nafikan
Nu enya kudu
dienyakeun yang benar,
dibenarkan
(Prof. H. Judistira Garna,
Ph.D)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar