Debus merupakan kesenian bela diri dari Banten yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa. Misalnya kebal senjata tajam, kebal air keras dan lain- lain.
Kesenian ini berawal pada abad ke-16, pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570). Pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa (1651—1692) Debus menjadi sebuah alat untuk memompa semangat juang rakyat banten melawan penjajah Belanda pada masa itu. Kesenian Debus saat ini merupakan kombinasi antara seni tari dan suara. Debus lebih dikenal sebagai kesenian asli masyarakat Banten, yang
mungkin berkembang sejak abad ke-18. Menurut sebagian banyak sumber
sejarah, kesenian debus Banten bermula pada abad 16 masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570) Debus mulai dikenal pada masyarakat Banten
sebagai salah satu cara penyebaran agama Islam. Namun ada juga yang
menyebutkan Debus berasal dari daerah Timur Tengah bernama Al-Madad yang
diperkenalkan ke daerah Banten ini sebagai salah satu cara penyebaran
Islam pada waktu itu. Yang lainnya menyebutkan bahwa debus berasal dari
tarekat Rifa’iyah Nuruddin al-Raniri yang masuk ke Banten oleh para pengawal Cut Nyak Dien (1848—1908).
Debus masih diperhitungkan sebagai bagian dari kesenian bela diri
tradisional yang kental dengan gerakan bela diri atau silat dan
penggunaan senjata. Fokus kesenian Debus adalah pada kekebalan tubuh
para pemainnya terhadap benda-benda tajam juga api. Setelah mengucapkan mantra “haram
kau sentuh kulitku, haram kau minum darahku, haram kau makan dagingku, urat
kawang, tulang wesi, kulit baja, aku keluar dari rahim ibunda. Aku mengucapkan
kalimat la ilaha illahu“. Maka pada saat itu juga ia menusukkan golok tersebut
ke paha, lengan, perut dan bagian tubuh lainnya. Pada saat atraksi tersebut
iapun menyambar leher anak kecil sambil menghunuskan goloknya ke anak tersebut.
Anehnya bekas sambaran golok tersebut tidak ada meninggalkan luka yang sangat
berbahaya bagi anak tersebut. Atraksi yang sangat berbahaya
tersebut biasa kita kenal dengan sebutan Debus, Konon kesenian bela diri debus
berasal dari daerah al Madad. Semakin lama seni bela diri ini makin berkembang
dan tumbuh besar disemua kalangan masyarakat banten sebagai seni hiburan untuk
masyarakat. Inti pertunjukan masih sangat kental gerakan silat atau beladiri
dan penggunaan senjata. Kesenian debus banten ini banyak menggunakan dan
memfokuskan di kekebalan seseorang pemain terhadap serangan benda tajam, dan
semacam senjata tajam ini disebut dengan debus.
Kesenian ini berkembang pada masa awal tumbuhnya Islam di Banten.
Awalnya, kesenian ini digunakan sebagai alat penyebaran agama. Namun,
pada masa penjajahan Belanda dan di bawah kepemimpinan Sultan Agung
Tirtayasa, kesenian Debus menjadi alat untuk menumbuhkan semangat juang
para pasukan Banten
Dalam pertunjukan Debus, pemain dilukai dengan menggunakan senjata
tajam. Tetapi, meskipun ditusuk, tubuh pemain tidak tampak luka dan
pemainnya sendiri pun tidak tampak kesakitan. Para pemain Debus tidak
sembarangan mengadakan pertunjukkan. Mereka diharuskan melalui ritual
yang telah dipersiapkan oleh guru mereka. Selain itu, pemain juga
diharuskan memiliki iman yang kuat dan teguh terhadap ajaran Islam.
Pemain tidak boleh mengkonsumsi minuman keras, main judi, mencuri, dan
tindakan kejahatan lainnya.
Debus dalam bahasa Arab yang berarti
senjata tajam yang terbuat dari besi, mempunyai ujung yang runcing dan
berbentuk sedikit bundar. Dengan alat inilah para pemain debus dilukai, dan
biasanya tidak dapat ditembus walaupun debus itu dipukul berkali kali oleh
orang lain. Atraksi atraksi kekebalan badan ini merupakan variasi lain yang ada
dipertunjukan debus. Antara lain, menusuk perut dengan benda tajam atau tombak,
mengiris tubuh dengan golok sampai terluka maupun tanpa luka, makan bara api,
memasukkan jarum yang panjang ke lidah, kulit, pipi sampai tembus dan tidak
terluka. Mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tetapi
dapat disembuhkan pada seketika itu juga, menyiram tubuh dengan air keras
sampai pakaian yang melekat dibadan hancur, mengunyah beling/serpihan kaca,
membakar tubuh. Dan masih banyak lagi atraksi yang mereka lakukan.
Kesenian ini tumbuh dan berkembang
sejak ratusan tahun yang lalu, bersamaan dengan berkembangnya agama islam di
Banten. Pada awalna kesenian ini mempunyai fungsi sebagai penyebaran agama,
namun pada masa penjajahan belanda dan pada saat pemerintahan Sultan Agung
Tirtayasa. Seni beladiri ini digunakan untuk membangkitkan semangat pejuang dan
rakyat banten melawan penjajahan yang dilakukan belanda. Karena pada saat itu
kekuatan sangat tidak berimbang, belanda yang mempunyai senjata yang sangat
lengkap dan canggih. Terus mendesak pejuang dan rakyat banten, satu satunya
senjata yang mereka punya tidak lain adalah warisan leluhur yaitu seni beladiri
debus, dan mereka melakukan perlawanan secara gerilya.
Dalam melakukan atraksi ini setiap
pemain mempunyai syarat syarat yang berat, sebelum pentas mereka melakukan
ritual ritual yang diberikan oleh guru mereka. Biasanya dilakukan 1-2 minggu
sebelum ritual dilakukan. Selain itu mereka juga dituntut mempunyai iman yang
kuat dan harus yakin dengan ajaran islam. Pantangan bagi pemain debus adalah
tidak boleh minum minuman keras, main judi, bermain wanita, atau mencuri. Dan
pemain juga harus yakin dan tidak ragu ragu dalam melaksanakan tindakan
tersebut, pelanggaran yang dilakukan oleh seorang pemain bisa sangat
membahayakan jiwa pemain tersebut.
Menurut beberapa sumber sejarah,
debus mempunyai hubungan dengan tarekat didalam ajaran islam. Yang intinya
sangat kental dengan filosofi keagamaan, mereka dalam kondisi yang sangat
gembira karena bertatap muka dengan tuhannya. Mereka menghantamkan benda tajam
ketubuh mereka, tiada daya upaya melainkan karena Allah semata. Kalau Allah
tidak mengijinkan golok, parang maupun peluru melukai mereka. Dan mereka tidak
akan terluka.
Pada saat ini banyak pendekar debus
bermukim di Desa Walantaka, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang. Yang sangat
disayangkan keberadaan debus makin lama kian berkurang, dikarenakan para pemuda
lebih suka mencari mata pencaharian yang lain. Dan karena memang atraksi ini
juga cukup berbahaya untuk dilakukan, karena tidak jarang banyak pemain debus
yang celaka karena kurang latihan maupun ada yang “jahil” dengan pertunjukan
yang mereka lakukan. Sehingga semakin lama warisan budaya ini semakin punah.
Dahulu kita bisa menyaksikan atraksi debus ini dibanyak wilayah banten, tapi
sekarang atraksi debus hanya ada pada saat event – event tertentu. Jadi tidak
setiap hari kita dapat melihat atraksi ini. Warisan budaya, yang makin lama
makin tergerus oleh perubahan jaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar