Abstrak :
Jawara
merupakan salah satu dari kelompok dalam masyarakat Banten yang cukup terkenal.
Ia memiliki pengaruh yang melewati
batas-batas geografis berkat kharisma yang dimilikinya. Munculnya jawara
menjadi sosok yang dikagumi ketika struktur sosial dan budaya masyarakat
hancur, yakni semenjak pemerintahan kolonial Belanda berhasil menganeksasi
Kesultanan Banten. Sehingga saat ini muncul pertanyaan tentang kedudukan, peran
dan jaringannya dalam sistem sosial masyarakat Banten.
Kedudukan, peran dan jaringan sosial
jawara terbentuk melalui proses sejarah yang sangat panjang yang dialami oleh
masyarakat Banten, yakni semenjak pembentukan Kesultanan Banten, masa
pemerintahan kolonialisme dan pasca pembebasan kolonilisme tersebut.
Perjalanaan sejarah tersebut telah menciptakan masyarakat Banten dikenal
sebagai masyarakat yang sangat fanatik terhadap agama, bersifat agresif dan
bersemangat memberontak.
Pendahuluan
Semenjak pemerintahan kolonial Belanda
menaklukan kesultanan Banten, perlawanan dan pemberontakan rakyatnya terhadap
pemerintah kolonial dan aparatnya tidak pernah berhenti. Pemerintah kolonial
memandang bahwa Banten merupakan daerah yang paling rusuh di Jawa. Karena itu
masyarakat Banten sejak dahulu dikenal sebagai orang yang sangat fanatik dalam
hal agama, bersifat agresif dan bersemangat memberontak.
Jawara merupakan sub-kelompok
masyarakat yang memainkan peran penting di Banten hingga saat ini. Meskipun
peran dan kedudukan tradisional mereka terus digerogoti arus modernisasi yang
semakin hegemonik. Desakan modernisasi telah merubah tata kehidupan dan
moralitas masyarakat Banten. Sehingga dampaknya tidak hanya pada fakta berupa
pendapatan dan produksi, tetapi juga pada perubahan identitas, aspirasi dan
otoritas.
Modernisasi yang kali pertama muncul di
negara-negara Eropa Barat yang ditandai dengan tumbuhnya kapitalisme industri
telah menggerogoti nilai-nilai tradisional, melawan hierarki sosial, dan bahkan
mereorganiasi aspek-aspek kehidupan sehari-hari masyarakat. Masyarakat
tradisional dengan struktur serta kebutuhan yang lebih stabil harus memberi
jalan kepada suatu dunia yang identitas dan selera senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan produksi
dan status. Sekarang tentu
saja, perkembangan semacam itu tidak hanya terbatas di dunia Barat, tetapi juga
dunia ketiga pada umumnya, tidak terlepas dalam hal ini Indonesia. Banten, yang
merupakan bagian integral dari wilayah Indonesia, tidak bisa lepas dari arus
“transformasi besar” itu.
Posisi wilayah Banten, terutama bagian
utara, yang sangat dengan dengan pusat kekuasaan, Jakarta, dan tengah mengalami
industrialisasi, telah banyak merubah persepsi dan nilai-nilai yang telah
diterima selama ini oleh masyarakat. Sehingga hal itu pun mempengaruhi peran
dan kedudukan jawara.
Para jawara, yang kini tergabung dalam
Perhimpunan Persilatan dan Seni Budaya Banten, tidak lagi mau disebut jawara.
Mereka lebih senang menyebut dirinya dengan pendekar, panggilan yang lebih
bermakna dan bernada positif.
Aep, salah seorang pengurus persilatan
dan seni budaya Banten ketika ditanya tentang perubahan nama jawara ke pendekar
menyatakan; bagi kami panggilan jawara itu apabila masih dipergunakan hingga
saat ini merupakan langkah mundur dan sudah bukan jamannya lagi karena
peran-peran terdahulu yang pernah dimainkan sudah harus ditinggalkan. Meskipun
demikian ciri khas kami yang utama tidak bisa ditinggalkan. Karena itu misi
kami adalah “bela diri, bela bangsa dan bela negara”.
Namun demikian, perubahan-perubahan
tersebut tidak sampai menghancurkan semua kedudukan dan peran sosial mereka
secara menyeluruh. Jawara berusaha untuk
tampil lebih ramah sehingga bisa diterima masyarakat, mereka kini tidak hanya
memainkan peran tradisional mereka, tetapi juga merambah pada sektor-sektor
ekonomi dan politik di Banten. Apalagi setelah Banten menjadi sebuah propinsi
yang mandiri, lepas dari wilayah Jawa Barat, peran jawara dalam percaturan
bidang politik dan ekonomi di wilayah Banten
memainkan peran yang sangat besar.
Gambaran Umum Jawara
Dalam cerita-cerita rakyat, khususnya
di kalangan para jawara, sering menyebut Ki
Mas Jo dan Ki Agus Jo, dua pengawal, yang tentukan juga bagian dari
“pasukan tempur”, Sultan Hasanuddin dalam proses Islamisasi di Banten, dianggap
tokoh-tokoh jawara.
Asal-usul kata “jawara” pun tidak
begitu jelas. Sebagian orang berpendapat bahwa jawara berarti juara, yang
berarti pemenang, yang ingin dipandang orang yang paling hebat. Memang bahwa
salah satu sifat jawara adalah selalu ingin menang, yang terkadang dilakukan
dengan berbagai cara termasuk dengan cara yang tidak baik. Sehingga seorang
jawara itu biasa bersifat sompral (berbicara
dengan bahasa yang kasar dan terkesan sombong)
Sebagian orang lagi berpendapat bahwa
kata “jawara” berasal dari kata “jaro” yang berarti seorang pemimpin yang
biasanya merujuk kepada kepemimpinan di desa, yang kalau sekarang lebih dikenal
dengan kepala desa atau lurah. Pada masa dahulu kepala desa atau lurah di
Banten itu mayoritas adalah para jawara. Para jawara tersebut memimpin kajaroan (desa) namun kemudian terjadi
pergeseran makna sehingga jawara dan jaro menunjukan makna yang berbeda. Sekarang ini jawara tidak mesti menjadi
pemimpin, apalagi menjadi kepala desa atau lurah.
Menurut Tihami bahwa jawara itu adalah
murid kiyai. Kiyai di Banten
pada tempo dulu tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam tetapi
mengajarkan ilmu persilatan atau kanuragan.
Hal ini disebabkan pesantren, pada masa yang lalu, berada di daerah-daerah
terpencil dan kurang aman, karena tidak “polisi” dari kesultanan tidak mampu
menjangkau daerah-daerah yang terpencil yang sangat jauh dari pusat kekuasaan.
Murid kiyai yang lebih berbakat dalam bidang intelektual, mendalami ilmu-ilmu
agama Islam pada akhirnya disebut santri. Sedangkan murid kiyai yang memiliki
bakat dalam bidang fisik lebih condong kepada persilatan atau ilmu-ilmu kanuragan, yang kemudian disebut jawara.
Karena itu dalam tradisi kejawaran bahwa seorang jawara yang melawan perintah
kiyai itu akan kawalat. Mungkin atas dasar itu seorang
pengurus persilatan dan seni budaya Banten menyatakan bahwa jawara itu adalah khodim (pembantu) nya kiyai. Bahkan
seperti yang diungkapkan oleh kiyai Tyb;
juwara iku tentrane kiyai (jawara
itu tentaranya kiyai).
Istilah jawara dalam percakapan
sehari-hari masyarakat Banten sekarang ini dipergunakan untuk istilah denotatif
dan juga referensi untuk mengidentifikasi seseorang. Istilah jawara yang
menunjukan referensi untuk identifikasi seseorang adalah gelar bagi orang-orang
yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh
dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga
membangkitkan perasaan orang lain penuh dengan pertentangan: hormat dan takut,
rasa kagum dan benci.
Sedangkan istilah jawara yang bersifat
denotatif berisi tentang sifat yang merendahkan derajat (derogatif) yang biasanya digunakan untuk orang-orang yang
berprilaku sombong, kurang taat menjalankan perintah agama Islam atau melakukan
sesuatu dengan cara-cara yang tidak baik terhadap orang untuk kepentingan
dirinya semata, seperti melakukan ancaman, kekerasan dan kenekadan.
Karena itu
ketika seseorang menyandang gelar jawara biasanya mengacu kepada dua makna
tersebut. Istilah jawara pun terkadang digunakan terhadap orang biasa
(masyarakat umum) yang berprilaku seperti jawara.
Sbl, salah
seorang pimpinan di perguruan tinggi di Banten, diprotes melalui surat oleh
para stafnya tentang kebijakan uang insentif yang sudah lama tidak turun. Surat
yang berisi tentang permintaan penjelasan uang insentif ditulis dengan agak
keras. Setelah sampai surat di sampaikan kepadanya. Kemudian Sbl menjawab isi surat
dengan sangat keras. Para staf itu berkata:
“ini sih bukan surat dari pimpinan, tetapi surat dari jawara”.
Karena itu kesan orang terhadap istilah
jawara cenderung negatif dan derogatif. Maka ada orang yang mendefenisikan
jawara dengan “jago wadon lan lahur”
(tukang main perempuan dan tukang bohong), “jago
wadon lan harta” (tukang main perempuan dan tamak harta). Kesan yang kurang
baik tentang jawara tersebut yang kemudian yang bagi orang-orang yang memiliki
ilmu-ilmu kadigjayaan atau persilatan yang sudah “terpelajar” tidak mau
menamakan dirinya jawara tetapi lebih senang disebut pendekar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar