Sabtu, 06 Juli 2013

JAWARA DI BANTEN: PERAN, KEDUDUKAN DAN JARINGANNYA


Abstrak :
            Jawara merupakan salah satu dari kelompok dalam masyarakat Banten yang cukup terkenal. Ia  memiliki pengaruh yang melewati batas-batas geografis berkat kharisma yang dimilikinya. Munculnya jawara menjadi sosok yang dikagumi ketika struktur sosial dan budaya masyarakat hancur, yakni semenjak pemerintahan kolonial Belanda berhasil menganeksasi Kesultanan Banten. Sehingga saat ini muncul pertanyaan tentang kedudukan, peran dan jaringannya dalam sistem sosial masyarakat Banten.
            Kedudukan, peran dan jaringan sosial jawara terbentuk melalui proses sejarah yang sangat panjang yang dialami oleh masyarakat Banten, yakni semenjak pembentukan Kesultanan Banten, masa pemerintahan kolonialisme dan pasca pembebasan kolonilisme tersebut. Perjalanaan sejarah tersebut telah menciptakan masyarakat Banten dikenal sebagai masyarakat yang sangat fanatik terhadap agama, bersifat agresif dan bersemangat memberontak.

Pendahuluan
Semenjak pemerintahan kolonial Belanda menaklukan kesultanan Banten, perlawanan dan pemberontakan rakyatnya terhadap pemerintah kolonial dan aparatnya tidak pernah berhenti. Pemerintah kolonial memandang bahwa Banten merupakan daerah yang paling rusuh di Jawa. Karena itu masyarakat Banten sejak dahulu dikenal sebagai orang yang sangat fanatik dalam hal agama, bersifat agresif dan bersemangat memberontak.
Jawara merupakan sub-kelompok masyarakat yang memainkan peran penting di Banten hingga saat ini. Meskipun peran dan kedudukan tradisional mereka terus digerogoti arus modernisasi yang semakin hegemonik. Desakan modernisasi telah merubah tata kehidupan dan moralitas masyarakat Banten. Sehingga dampaknya tidak hanya pada fakta berupa pendapatan dan produksi, tetapi juga pada perubahan identitas, aspirasi dan otoritas.
Modernisasi yang kali pertama muncul di negara-negara Eropa Barat yang ditandai dengan tumbuhnya kapitalisme industri telah menggerogoti nilai-nilai tradisional, melawan hierarki sosial, dan bahkan mereorganiasi aspek-aspek kehidupan sehari-hari masyarakat. Masyarakat tradisional dengan struktur serta kebutuhan yang lebih stabil harus memberi jalan kepada suatu dunia yang identitas dan selera senantiasa  berubah sesuai dengan kepentingan produksi dan status. Sekarang tentu saja, perkembangan semacam itu tidak hanya terbatas di dunia Barat, tetapi juga dunia ketiga pada umumnya, tidak terlepas dalam hal ini Indonesia. Banten, yang merupakan bagian integral dari wilayah Indonesia, tidak bisa lepas dari arus “transformasi besar” itu.
Posisi wilayah Banten, terutama bagian utara, yang sangat dengan dengan pusat kekuasaan, Jakarta, dan tengah mengalami industrialisasi, telah banyak merubah persepsi dan nilai-nilai yang telah diterima selama ini oleh masyarakat. Sehingga hal itu pun mempengaruhi peran dan kedudukan jawara.
Para jawara, yang kini tergabung dalam Perhimpunan Persilatan dan Seni Budaya Banten, tidak lagi mau disebut jawara. Mereka lebih senang menyebut dirinya dengan pendekar, panggilan yang lebih bermakna dan bernada positif. 
Aep, salah seorang pengurus persilatan dan seni budaya Banten ketika ditanya tentang perubahan nama jawara ke pendekar menyatakan; bagi kami panggilan jawara itu apabila masih dipergunakan hingga saat ini merupakan langkah mundur dan sudah bukan jamannya lagi karena peran-peran terdahulu yang pernah dimainkan sudah harus ditinggalkan. Meskipun demikian ciri khas kami yang utama tidak bisa ditinggalkan. Karena itu misi kami adalah “bela diri, bela bangsa dan bela negara”.
Namun demikian, perubahan-perubahan tersebut tidak sampai menghancurkan semua kedudukan dan peran sosial mereka secara menyeluruh.  Jawara berusaha untuk tampil lebih ramah sehingga bisa diterima masyarakat, mereka kini tidak hanya memainkan peran tradisional mereka, tetapi juga merambah pada sektor-sektor ekonomi dan politik di Banten. Apalagi setelah Banten menjadi sebuah propinsi yang mandiri, lepas dari wilayah Jawa Barat, peran jawara dalam percaturan bidang politik dan ekonomi  di wilayah Banten memainkan peran yang sangat besar. 
 
Gambaran Umum Jawara
Dalam cerita-cerita rakyat, khususnya di kalangan para jawara, sering menyebut Ki  Mas Jo dan Ki Agus Jo, dua pengawal, yang tentukan juga bagian dari “pasukan tempur”, Sultan Hasanuddin dalam proses Islamisasi di Banten, dianggap tokoh-tokoh jawara.
Asal-usul kata “jawara” pun tidak begitu jelas. Sebagian orang berpendapat bahwa jawara berarti juara, yang berarti pemenang, yang ingin dipandang orang yang paling hebat. Memang bahwa salah satu sifat jawara adalah selalu ingin menang, yang terkadang dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan cara yang tidak baik. Sehingga seorang jawara itu biasa bersifat sompral (berbicara dengan bahasa yang kasar dan terkesan sombong)
Sebagian orang lagi berpendapat bahwa kata “jawara” berasal dari kata “jaro” yang berarti seorang pemimpin yang biasanya merujuk kepada kepemimpinan di desa, yang kalau sekarang lebih dikenal dengan kepala desa atau lurah. Pada masa dahulu kepala desa atau lurah di Banten itu mayoritas adalah para jawara. Para jawara tersebut memimpin kajaroan (desa) namun kemudian terjadi pergeseran makna sehingga jawara dan jaro menunjukan makna yang berbeda. Sekarang ini jawara tidak mesti menjadi pemimpin, apalagi menjadi kepala desa atau lurah.
Menurut Tihami bahwa jawara itu adalah murid kiyai. Kiyai di Banten pada tempo dulu tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam tetapi mengajarkan ilmu persilatan atau kanuragan. Hal ini disebabkan pesantren, pada masa yang lalu, berada di daerah-daerah terpencil dan kurang aman, karena tidak “polisi” dari kesultanan tidak mampu menjangkau daerah-daerah yang terpencil yang sangat jauh dari pusat kekuasaan. Murid kiyai yang lebih berbakat dalam bidang intelektual, mendalami ilmu-ilmu agama Islam pada akhirnya disebut santri. Sedangkan murid kiyai yang memiliki bakat dalam bidang fisik lebih condong kepada persilatan atau ilmu-ilmu kanuragan, yang kemudian disebut jawara. Karena itu dalam tradisi kejawaran bahwa seorang jawara yang melawan perintah kiyai itu akan kawalat. Mungkin atas dasar itu seorang pengurus persilatan dan seni budaya Banten menyatakan bahwa jawara itu adalah khodim (pembantu) nya kiyai. Bahkan seperti yang diungkapkan oleh kiyai Tyb;  juwara iku tentrane kiyai (jawara itu tentaranya kiyai).
Istilah jawara dalam percakapan sehari-hari masyarakat Banten sekarang ini dipergunakan untuk istilah denotatif dan juga referensi untuk mengidentifikasi seseorang. Istilah jawara yang menunjukan referensi untuk identifikasi seseorang adalah gelar bagi orang-orang yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga membangkitkan perasaan orang lain penuh dengan pertentangan: hormat dan takut, rasa kagum dan benci. 
Sedangkan istilah jawara yang bersifat denotatif berisi tentang sifat yang merendahkan derajat (derogatif) yang biasanya digunakan untuk orang-orang yang berprilaku sombong, kurang taat menjalankan perintah agama Islam atau melakukan sesuatu dengan cara-cara yang tidak baik terhadap orang untuk kepentingan dirinya semata, seperti melakukan ancaman, kekerasan dan kenekadan.
 
Karena itu ketika seseorang menyandang gelar jawara biasanya mengacu kepada dua makna tersebut. Istilah jawara pun terkadang digunakan terhadap orang biasa (masyarakat umum) yang berprilaku seperti jawara.
 Sbl, salah seorang pimpinan di perguruan tinggi di Banten, diprotes melalui surat oleh para stafnya tentang kebijakan uang insentif yang sudah lama tidak turun. Surat yang berisi tentang permintaan penjelasan uang insentif ditulis dengan agak keras. Setelah sampai surat di sampaikan kepadanya. Kemudian Sbl menjawab isi surat dengan sangat keras. Para staf itu berkata: “ini sih bukan surat dari pimpinan, tetapi surat dari jawara”.

Karena itu kesan orang terhadap istilah jawara cenderung negatif dan derogatif. Maka ada orang yang mendefenisikan jawara dengan “jago wadon lan lahur” (tukang main perempuan dan tukang bohong), “jago wadon lan harta” (tukang main perempuan dan tamak harta). Kesan yang kurang baik tentang jawara tersebut yang kemudian yang bagi orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu kadigjayaan atau persilatan yang sudah “terpelajar” tidak mau menamakan dirinya jawara tetapi lebih senang disebut pendekar.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar