Sabtu, 06 Juli 2013

Teori - Teori Kebudayaan

1. Teori Evolusionisme

Teori evolusi merupakan buah filsafat materialistik yang muncul bersamaan dengan kebangkitan filsafat-filsafat materialistik kuno dan kemudian menyebar luas di abad ke 19. Seperti telah disebutkan sebelumnya, paham materialisme berusaha menjelaskan alam semesta melalui faktor-faktor materi.
Karena menolak pencipta, pandangan ini menyatakan bahwa segalah sesuatu, hidup ataupun tak hidup, muncul tidak melalui pencipta tetapi dari sebuah peristiwa kebetulan yang kemudian mencapai kondisi teratur. Akan tetapi, akal manusia sedemikian terstruktur sehingga mampu memahami keberadaan sebuah kehendak yang mengatur di mana pun ia menemukan keteraruran.

Filsafat materialistis, yang bertantangan dengan karakteristik paling mendasar akal manusia ini, memunculkan “ teori evolusi” di pertengahan abad ke 19. Serta Teori Evousi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia.

Namun demikian, Charles Darwin adalah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori evolusi yang telah banyak terbukti menghadapi pengujian ilmiah. Sampai saat ini, teori Darwin mengenai evolusi yang terjadi karena seleksi alam dianggap oleh mayoritas komunitas sains sebagai teori terbaik dalam menjelaskan peristiwa evolusi. Darwin melengkapi teori evolusinya dengan menerapkan prinsip yang sama dengan asal-usul spesies kepada asal-usul manusia dan memberikan tempat kepada manusia melakukan proses evolusi dalam rangka seleksi alam dan mempertahankan eksistensinya di alam.
Sangat sulit untuk meninggalkan teori Darwinisme yang sudah berusia lebih dari 150 tahun, tetapi dalam ilmu pengetahuan yang terus berkembang, tak terkecuali teori Darwin yang sudah melegenda itu, serta dapat dibuktikan dengan penelitian terbaru seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi.

Karena ilmu pengetahuan saat ini, berkembang sangat pesatnya, bukan hanya hitungan tahun dan bulan, bahkan bisa dalam hitungan hari dan bahwa teori evolusi ini hanyalah sebuah kebohongan.


2. TEORI FUNGSIOANALISME MENURUT EMILE DURKHEIM

Teori fungsionalisme adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.

Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut.

Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.

Durkheim berpikir bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat, suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Teori fungsionalisme yang menekankan kepada keteraturan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain, dengan kata lain masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi sistem sosial itu. Demikian pula semua institusi yang ada diperlukan oleh sistem sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat dilihat dari kondisi dinamika dalam keseimbangan. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya jika tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.

Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Dalam bukunya "Pembagian Kerja dalam Masyarakat", Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat 'mekanis' dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, menurut Durkheim kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual, norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi. Sedangkan dalam masyarakat modern, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang 'mekanis', misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swasembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu seperti bahan makanan, pakaian, dll untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini. Menurut Durkheim bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif. Seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.

Mengutamakan keseimbangan, dengan kata lain teori ini memandang bahwa semua peristiwa dan struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dimana jika sekelompok masyarakat ingin memajukan kelompoknya, mereka akan melihat apa yang akan d kembangkan dan tetap mempertahankan bahkan melestarikan tradisi-tradisi dan budaya yang sudah berkembang dan menjadikannya sebagai alat modernisasi.
Namun dalam hal ini penganut teori fungsional seringkali mengabaikan variabel konflik dan perubahan sosial dalam analisa mereka, akibatnya mereka seringkali di cap sebagai kelompok konservatif karena terlalu menekankan kepada keteratuan dalam masyarakat dan mengabaikan variabel konflik dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Dalam masyarakat yang beragam kebudayaan akan sangat mudah terjadi konflik, namun teori fungsional akan menjadi garis tengah untuk menjadikan sebuah perbedaan menjadi alat untuk bersatu.

3. Teori Kontak Budaya

Budaya yang lebih tinggi dan aktif akan mempengaruhi budaya yg lebih rendah dan pasif melalui kontak budaya (Malinowski, 1983:21-23). Teori Malinowski ini sangat nampak dalam pergeseran nilai-nilai budaya kita yang condong ke Barat. Dalam era globalisasi informasi menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam mempengaruhi pola pikir manusia. Budaya barat saat ini diidentikkan dengan modernitas (modernisasi), dan budaya timur diidentikkan dengan tradisional atau konvensional. Orang tidak saja mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi Barat sebagai bagian dari kebudayaan tetapi juga meniru semua gaya orang Barat, sampai-sampai yang di Barat dianggap sebagai budaya yang tidak baik tetapi setelah sampai di Timur diadopsi secara membabi buta. 

Seorang yang sudah lama menetap di Australia kemudian mudik ke Indonesia, ia tercengang melihat betapa cepatnya perubahan budaya di Indonesia. Ia saat itu bahkan merasa berada di Amerika. Ada beberapa saluran TV yang menayangkan banyak film Amerika yang penuh dengan adegan kekerasan dan seks. Selama beberapa minggu ia berada di tanah air, ia tidak melihat kesenian tradisional yang ditayangkan di TV swasta seperti yang pernah dilihatnya dahulu di TVRI. Ia kemudian sadar bahwa reog, angklung, calung, wayang golek, gamelan, dan tarian tradisional tidak hanya nyaris tidak ditayangkan di TV, tetapi juga jarang sekali dipertontonkan langsung di tengah-tengah masyarakatnya. Sementara itu, ia justru menemukan Mc. Donald’s, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, dan Dunkin Donuts di sini. Beberapa toserba dan pasar swalayan juga mirip seperti yang ia temukan di luar negeri dengan penataan yang serupa. Kedua tempat berbelanja tersebut bahkan lebih banyak menggunakan petunjuk-petunjuk berbahasa Inggeris, meskipun mayoritas pengunjungnya adalah orang Melayu.

Ia melihat banyak pemuda bergaya masa kini, dengan rambut panjang di buntut kuda, sebelah telinganya beranting, bercelana Levi’s duduk-duduk santai di Mall, seraya meneguk minuman dingin ‘Soft Drink’. Demikian pula pemuda-pemudinya banyak sekali yang hanya menggunakan kaos sepotong yang ketat dan tidak sempat menutup pussarnya, dengan celana panjang yang ketat pula, sedangkan rambutnya disisir dengan gaya semrawut. Di kota-kota besar sudah tumbuh pub-pub, night-club, diskotik dan karaoke yang sangat laris. Restoran-restoran yang menyediakan makanan ala China, dan Eropa.
4. Teori Sinkronisasi dan Tanggapan

Teori Sinkronisasi Budaya (Hamelink, 1983) menyatakan “lalu lintas produk budaya masih berjalan satu arah dan pada dasarnya mempunyai mode yang sinkronik . Negara-negara Metropolis terutama Amerika Serikat menawarkan suatu model yang diikuti negara-negara satelit yang membuat seluruh proses budaya lokal menjadi kacau atau bahkan menghadapi jurang kepunahan. Dimensi-dimensi yang unik dari budaya Nusantara dalam spektrum nilai kemanusiaan yang telah berevolusi berabad-abad secara cepat tergulung oleh budaya mancanegara yang tidak jelas manfaatnya. Ironisnya hal tersebut justru terjadi ketika teknologi komunikasi telah mencapai tataran yang tinggi, sehingga kita mudah melakukan pertukaran budaya.

(Dalam sumber yang sama) Hamelink juga mengatakan, bahwa dalam sejarah budaya manusia belum pernah terjadi lalu lintas satu arah dalam suatu konfrontasi budaya seperti yang kita alami saat ini. Karena sebenarnya konfrontasi budaya dua arah di mana budaya yang satu dengan budaya yang lainnya saling pengaruh mempengaruhi akan menghasilkan budaya yang lebih kaya (kompilasi).

Sedangkan konfrontasi budaya searah akan memusnahkan budaya yang pasif dan lebih lemah. Menurut Hamelink, bila otonomi budaya didefinisikan sebagai kapasitas masyarkat untuk memutuskan alokasi sumber-sumber dayanya sendiri demi suatu penyesuaian diri yang memadai terhadap lingkungan, maka sinkronisasi budaya tersebut jelas merupakan ancaman bagi otonomi budaya masyarakatnya.

5. Teori Tindakan atau Action Theory

Teori tindakan atau action theory (Talcott Parson, E. Shils, Robert K. Merton dan lain-lain). Kebudayaan (berdasarkan teori tindakan ini) terdiri dari empat komponen sebagai berikut Sistem Budaya ‘Culture System’; Sistem Sosial ‘Social System’; Sistem Kepribadian ‘Personality System’; dan Sistem Organik ‘Organic System’.
Sistem Budaya ‘Culture System’ yang merupakan komponen yang abstrak dari kebudayaan yang terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, konsep-konsep, tema-tema berpikir dan keyakinan-keyakinan (lazim disebut adat-istiadat).

Di antara adat-istiadat tersebut terdapat “sistem nilai budaya”, “sistem norma” yang secara khusus dapat dirinci dalam berbagai norma menurut pranata yang ada di masyarakat. Fungsi sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah-laku manusia.
 Sistem Sosial ‘Social System’; terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia atau tindakan-tindakan dari tingkah laku berinteraksi antarindividu dalam bermasyarakat. Sebagai rangkaian tindakan berpola yang berkaitan satu sama lain, sistem sosial itu bersifat kongkrit dan nyata dibandingkan dengan sistem budaya (tindakan manusia dapat dilihat atau diobservasi).

Interaksi manusia di satu pihak ditata dan diatur oleh sistem budaya. Namun di lain pihak dibudayakan menjadi pranata-pranata oleh nilai-nilai dan norma tersebut.
 Sistem Kepribadian ‘Personality System’; adalah soal isi jiwa dan watak individu yang berinteraksi sebagai warga masyarakat. Kepribadian individu dalam suatu masyarakat walaupun satu sama lain berbeda-beda, namun dapat distimulasi dan dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma dalam sistem budaya dan dipengaruhi oleh pola-pola bertindak dalam sistem sosial yang telah diinternalisasi melalui proses sosialisasi dan proses pembudayaan selama hidup, sejak kecilnya. Dengan demikian sistem kepribadian manusia berfungsi sebagai sumber motivasi dari tindakan sosialnya.


Dan Sistem Organik ‘Organic System’ melengkapi seluruh kerangka sistem dengan mengikut-sertakan proses biologik dan bio kimia ke dalam organisme manusia sebagai suatu jenis makhluk alamiah. Proses biologik dan biokimia tersebut apabila dipelajari lebih dalam ikut menentukan kepribadian individu, pola-pola tindakan manusia, dan bahkan gagasan-gagasan yang dicetuskan (Koentjaraningrat, 1980: 235-236). Kebiasaan suku Lampung bila menghidangkan tamu yang dihormati, atau kerabat yang dihormati adalah menyuguhkan kepala ikan ‘culture system’.

Budaya ini tidak boleh dipahami dari sudut pandangan orang Jawa atau orang Sunda, di mana kebiasaan kedua suku tersebut apabila memberikan jamuan makan dengan hidangan kepala ikan dianggap sebagai suatu penghinaan ‘social system’. Sebagai ilmuwan kita harus memahami budaya tersebut dari budaya daerah itu sendiri atau dari induk budayanya.

Ikan-ikan yang ada di Lampung adalah ikan-ikan besar dan orang Lampung tidak mau mengkonsumsi ikan yang kecil-kecil, kecuali dibuat terasi atau makanan lainnya. Ikan yang biasa dimakan mereka adalah ikan yang “rasa kepalanya enak”, seperti ikan baung, jelabat, dan sebagainya.

Orang Lampung tidak menghidangkan ikan seperti mujair, gurami, tawes, wader, dan sebagainya untuk menjamu tamu yang dihormati. Maka karena rasa kepala ikan baung, ikan jelabat sangat enak, dan ikannya besar ‘organic system’, maka sangat wajar bila mereka menghidangkan ikan kepada tamunya pada bagian kepalanya. Sebaliknya jenis ikan di Jawa adalah ikan yang kecil-kecil sehingga kalau memberikan suguhan ikan pada kepalanya sama (nilainya) dengan memberi kucing. Oleh karena itu, menjelaskan suatu budaya haruslah dipahami dari budaya (atau sistem budaya yang berlaku) itu sendiri.

6. Theory orientation value of culture teori orientasi nilai budaya

Teori Oreantasi Nilai Budaya ‘Theory Oreantation Value of Culture’. Menurut Kluckhon dan Strodberck soal-soal yang paling tinggi nilainya dalam kehidupan manusia dan yang ada dalam tiap kebudayaan di dunia ini menyangkut paling sedikit lima hal, yakni
  • Human Nature atau makna hidup manusia;
  • Man Nature atau persoalan hubungan manusia dengan alam sekitarnya;
  • Persoalan Waktu, atau persepsepsi manusia terhadap waktu;
  • Persoalan Aktivitas ‘Activity’, persoalan mengenai pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia; dan
  • Persoalan Relasi ‘Relationality’ atau hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Dalam kenyataannya selalu beroreantasi pada nilai-nilai Pancasila, karena Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa Indonesia ternyata bukan hanya sekedar simbol-simbol, atau slogan dengan rangkaian kata-kata yang indah tetapi memiliki arah berupa nilai yang menjadi oreantasi budaya yang sangat tinggi nilainya, di mana masing-masing sila memuat kelima hal atau sila yang sangat tinggi nilainya. Masing-masing sila memuat makna hidup manusia, makna sosial, hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya, dan arah aktivitas yang selalu disinari oleh sila yang pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

Masyarakat Tradisional Banten

A. PENDAHULUAN 

Wilayah Banten yang meliputi empat daerah, Kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak dan Tangerang itu telah menjalani dan mengalami proses sejarah yang panjang. Jalan lintas Sumatera - Jawa melalui wilayah ini mulai berlangsung intensif di akhir abad ke-19; dengan jumlah penduduk yang relatif kecil masa lampau dan kini (2.616.787 orang, tahun 1989) dibandingkan dengan wilayahnya yang luas itu, budaya penduduknya mampu menyimpan identitas tersendiri serta jiwa heroisme yang tinggi.

Kelompok masyarakat Baduy di Kanekes adalah pemukim daerah itu yang telah berada di sana jauh sebelum masa kejayaan Kerajaan Pajajaran. Migrasi dua kelompok masyarakat Melayu Awal dan Melayu Akhir di masa silam bukan saling desak melalui peperangan, tetapi berlangsung secara damai dengan saling memberi lahan hidup. Daerah penghunian dan lahan kegiatan hidupnya yang luas itu, kemudian memberi peluang mengembangkan kebudayaannya serta kualitas kehidupan yang makin tak sama dengan kelompok lainnya.

Kiranya perlu untuk memahami makna sebenarnya dari konsep tradisi, tradisional, pelestarian dan nilai-nilai budaya agar tepat pemakaiannya. Tradisi ialah adat atau kebiasaan sosial yang diturunkan dari suatu generasi kepada generasi lainnya melalui proses sosialisasi, yaitu pembentukan tingkah laku melalui pengalaman di dalam keadaan sosial tertentu. Manakala setiap individu itu lahir dan berada ke dalam satu sistem sosial yang akan memberi tekanan kepadanya akan norma dan nilai yang harus diterima oleh individu tesebut sebagai warga masyarakatnya. Tradisi itu menentukan nilai dan moral suatu masyarakat, termasuk aturan tentang salah-benar, atau baik-buruk sesuatu yang dilihat.

Konsep tradisi juga meliputi worldview, atau pandangan dunia yang mengaitkan kepercayaan tentang masalah hidup-mati dan peristiwa-peristiwa alam serta makhluknya. Dengan demikian konsep tradisi terkait erat dengan sistem kepercayaan, nilai-nilai dan cara berfikir suatu masyarakat. Masyarakat tradisional Banten diartikan suatu masyarakat yang memiliki tradisi-tradisi tertentu sebagai karakteristiknya. Pelestarian seharusnya mengandung hakekat untuk mengekalkan berbagai ciri itu yang telah diperoleh budaya tersebut melalui proses kehidupannya dan pengaruh yang diterima. Pelestarian itu tidak menolak pengaruh- pengaruh luar, manakala pengaruh itu mampu diserap dan diolah menjadi bagian pelengkap budayanya. Sedangkan setiap kebudayaan, termasuk budaya wilayah Banten, akan memiliki mekanisme semacam itu dalam sistem budaya mereka; seperti dapat dikemukakan (Garna,1982) bahwa;


B. ORANG BADUY DI KANEKES

1. Orang Baduy di Kanekes
Orang Baduy yang bermukim di desa Kanekes,_ wilayah kecamatan Leuwi Damar, kabupaten Lebak, Banten; dianggap memiliki ciri-ciri sosial budaya seperti masyarakat Sunda Lama, yang kini sistem sosial seperti itu telah pudar pada kelompok masyarakat lain di Jawa Barat (van Hoevell, 1844; Blume, 1845; Korders, 1869a, 1869b; von Ende, 1889; Jacob and Meijer, 1891; van richt, 1929, 1930; Geise, 1952; Berthe, 1965, 1970; Garna, 1975a, 1975b, 1980, 1984, 1985, 1987a, 1987b, 1987c, 1988, 1990, dan 1991). Untuk memahami dan meneliti aspek lainnya tentang orang Baduy akan memerlukan rekonstruksi, gambaran tentang mereka, termasuk struktur dan organisasi sosial, melalui kesan-kesan yang diperoleh dari serangkaian hasil penelitian dan analisis eksistensi orang Baduy.

Dari berbagai situs purbakala di wilayah Banten bagian selatan, Lebak si Bedug, Kosala, Gunung Dangka, dan Sasaka Domas di Kanekes, dapat menunjukkan bahwa budaya megalitik ialah lingkungan budaya orang Baduy masa lalu yang berlanjut hingga masa kini. Demikian pula halnya dengan penghormatan kepada nenek moyang (kabuyutan), salah satu ciri penting dalam sistem kepercayaan Nusantara, yang bagi orang Baduy hingga kini hampir tak tergoyahkan oleh pengaruh luar masyarakatnya.

Di wilayah Banten pengaruh luar diawali oleh kebudayaan Hindu melalui agama yang dianut oleh para penguasa kerajaan Tarumanagara dan Pajajaran serta kerajaan kecil lainnya di wilayah Banten atau Jawa Barat bagian tengah. Pada abad ke-16 kekuasaan Pajajaran itu terdesak dan sirna oleh penyebaran Islam yang dilakukan oleh kesultanan Cirebon dengan bantuan kerajaan Demak, kemudian berdirilah kesultanan Banten yang Islam. Orang Baduy tampaknya hanya tersentuh sedikit saja oleh kuasa kerajaan lama dan baru yang menguasai wilayah luas Banten itu. Pengaruh Barat yang pada masa kerajaan Pajajaran datang melalui pelabuhan Sunda Kelapa, dan pada masa kesultanan Banten melalui perdagangan pesat di pelabuhan Banten Lama tampaknya tidak juga banyak mempengaruhi kehidupan orang Baduy. Kecenderungan bahwasanya makin tinggi arus pengaruh budaya luar makin mantap sistem sosial orang Baduy merupakan hal yang menarik guna memahami kelompok masyarakat ini. Pusat kekuasaan kerajaan Sunda-Hindu maupun Islam itu adalah terletak di pedalaman, walupun demikian mereka mampu berhubungan cepat dengan dunia luar karena memiliki pelabuhan di pantai laut Sunda Kelapa dan Banten Lama yang dihubungkan pada pusat kerajaan melalui sungai.
 
2. Nama dan Bahasa
Sebutan Urang Baduy bagi seluruh penduduk Kanekes yang tinggal di lereng Pegunungan Kendeng itu bukanlah berasal dari sebutan mereka sendiri. Orang Belanda menyebut mereka badoe'i, badoei, badoewi, Kanekes dan Rawayan (van Hoevel,1845; Jacob and Meijer, 1891; Pennings,1902; Pleyte, 1909; van Tricht, 1929; dan geise, 1952). Penduduk Islam Banten juga menyebut mereka Urang Baduy (orang Baduy), yang besar kemungkinan disebabkan oleh anggapan yang menyamakan dengan kelompok masyarakat pengembara di Arab, orang Badawi. Kemungkinan lain ialah sebutan diri itu diambil dari nama Sungai Cibaduy atau Gunung Baduy yang berada di wilayah mereka.
Adapun sebutan diri yang biasa mereka lakukan ialah mengacu kepada asal kampung, atau paroh masyarakat dari ruang mereka menjadi bagian dari padanya; seperti urang Kanekes (Inner dan Outer Baduy), Urang Panamping (outer Baduy), Urang Girang (Inner Baduy), urang Kaduketug (menyebut asal kampung).
Seluruh penduduk Kanekes adalah Orang Baduy, tidak tercampur oleh penduduk luar, kecuali dari kampung Cicakalgirang terdapat tinggal keluarga Banten Islam, keturunan dari pemukim yang keberadaannya merupakan salah satu persetujuan Puun, pemimpin Baduy dengan Sultan Banten di abad ke-16. Bahasa Baduy termasuk dalam kategori dialek Sunda-Banten, yaitu subdialek Baduy (Meijer, 1891; Widjajakusumah, 1981: 9), tidak dipengaruhi bahasa Jawa Banten seperti halnya subdialek Banten lainnya. Bahasa Baduy tidak dimiliki undak usuk, kola kata dan aksen tinggi dalam lagu kalimat serta beberapa jenis struktur kalimat yang khas. Perkembangan bahasa Sunda di Jawa Barat tampaknya telah menjadikan subdialek Baduy makin jauh dari bahasa Sunda lulugu yang dianggap baku, karena itu pemakaian partikel, bentukan kata, aksen kata dan pemakaian fonem makin berbeda sehingga subdialek Baduy dianggap bahasa tersendiri.

3. Desa Kanekes
Luas wilayah Desa Kanekes 5.101,85 Ha yang merupakan bagian dari kecamatan Leuwidamar, kabupaten DT.II Lebak. Wilayah ini berbukit-bukit dengan kemiringan lereng rata-rata 45 % dan tinggi dari permukaan laut berkisar antara 100 - 150 m (Pemda Kab. Lebak, 1993). Sungai Ciujung yang mengalir di daerah ini mempunyai anak sungai, Cisimeut, Cibarani, Cibeneung, dan Cipatahiang. Sungai-sungai itu mengalir ke bagian utara Banten, yang penduduknya bersawah. Keadaan tanah dapat dibagi dalam 3 bagian, yang di sebelah utara daerah pegunungan vulkanik, bagian tengah endapan tanah pegunungan, dan bagian selatan campuran tanah pegunungan dan endapannya yang menjulang tinggi. Jenis tanah adalah latosol coklat, aluvial coklat dan andosol, sedangkan curah hujan 4.000 mmltahun dengan suhu rata-rata lebih dari 90 °C (Tim forestry Indonesia, 1985:7).
Beberapa ratus tahun yang lalu wilayah Baduy itu lebih luas lagi; sebagaimana pernah dikenal adanya kelompok masyarakat Baduy, orang Baduy Karang di daerah kecamatan Sajira sekarang, dan orang Are merupakan sebutan bagi orang Baduy yang sudah menjadi penduduk Islam di sekitar Kanekes sekarang. Luas asal wilayah Baduy tersebut diperkirakan meliputi beberapa wilayah kecamatan sekarang seperti kecamatan Muncang, Sajira, Cimarga, Maja, Bojongmanik, dan kecamatan Leuwidamar (Garna, 1988). Penyempitan wilayah tersebut dimulai oleh upaya Kesultanan Banten yang kemudian diteruskan oleh pemerintahan Hindia-Belanda melalui upaya Patih Derus (van Tricht, 1929:69-71; Garna, 1978).

4. Populasi
Pada tahun 1888 penduduk Baduy tercatat sebanyak 291 orang yang tinggal di sepuluh buah kampung, tahun 1899 berjumlah 1.407 orang di 26 bush kampung (Jacob and Neijer, 1891; Pennings,1902).
Sebelum sensus penduduk tahun 1930 terdapat 2 laporan tentang penduduk Kanekes, yaitu tahun 1908 berjumlah 1.547 orang (Djajadiningrat, 1928) dan tahun 1928 berjumlah 1.521 orang (van Tricht,1929).
Tahun 1966 dari seluruh penduduk kecamatan Leuwidamar yang berjumlah 22.882 orang itu, orang Baduy berjumlah 3.935 orang; tahun 1980 berjumlah 4.057 orang; dan tahun 1983 berjumlah 4.574 orang (Garna, 1985; 1987; 1988). Pada saat ini jumlah orang Baduy adalah 5.649 orang, yang terdiri dari 2.860 pria dan 2.789 wanita (Profil Desa Kanekes, 1993).

5. Huma: Sumber Mata Pencaharian Hidup
Dalam tradisi kehidupan orang Baduy terdapat 6 jenis huma, yang dibedakan oleh lokasi, fungsi dan pemilikannya, yaitu huma Serang, ladang yang dianggap suci, Tangtu; huma Puun, ladang yang dikerjakan dan khusus bagi Puun; huma tangtu, ladang yang dikerjakan oleh orang Baduy Dalam atau orang tangtu; huma Tuladan atau huma Jaro, ladang Jaro pamarentah yang wajib dikerjakan oleh warga Baduy Panamping atau Baduy Luar; huma Panamping, yaitu ladang warga Panamping yang dikerjakan sendiri bersama keluarganya; dan huma Urang Baduy, yaitu ladang di luar Desa Kanekes yang disewa secara bagi hasil atau sewa uang dengan warga desa lain (Garna,1988).
Padi atau pare yang ditanam adalah jenis padi lokal, yang secara turun-temurun diperoleh dari pare indung atau bibit padi masa tanam sebelumnya. Selain padi orang Baduy mengenal hampir 80 jenis tanaman untuk huma (Tim Forestry Indonesia, 1985), seperti Hamiru (Veronea arborea Buch), hiris (Cajanus cajan gobi L.), jaat (Psopapocarpus tetragonolobus Dc.), roay (Dolichoslablab), dan walu (Sesamun indicum). Selain itu mereka mengenal kira-kira sebanyak 54 tanaman hutan, termasuk jenis kayu, seperti angsana (Peterocafpus omdohcuus Willd), kawung (Arenga pinnata (Wrumb) Merr), binglu (Mangifera caosia Jack cx Wall).
Tabel 1. Proses Berhuma Orang Baduy

No.
Bulan
Jenis Kegiatan
Di
I
Kapat
Narawas
Tangtu, Dangku,
2
Kalima
Narawas
Panamping
3
Kanem
Nyacar, Nukuh
Tangtu, Dangku,
4
Katujuh
Ganggang, Ngaduruk
Panamping
5
Kadalapan
Ngaseuk
Tangtu, Dangku,
6
Kasalapan
Ngaseuk
Panamping
7
Hapit Lemah
Ngaseuk
Tangtu
9
Kapit Kayu
Ngirab sawan, Ngubaran
Huma serang
10
Kasa
Ngirab sawan,Ngubaran
Tangtu
11
Karo
Dibuat
Dangka, Panamping
12
Katiga
Dibuat
Tangtu, Dangka,



Panamping



Huma serang



Huma Puun



Tangtu, Dangka,



Panamping

Keterangan : Tangtu = Inner Baduy, Dangka = Baduy enclave, panamping = Outer Baduy, huma serang = huma suci, huma Puun = huma milik Puun.

Proses atau pengerjaan huma dilakukan menurut urutan penanggalan Baduy, sebutan bulan itu tidak sama dengan bahasa Sunda Priangan. Proses itu mulai dengan narawas nyacar nukuh ganggang ngaduruk ngaseuk ngirab sawan ngubaran mipit dibuat dilantaykeun; kemudian barulah ngujal atau diangkut ke leuit (lumbung padi) di kampung. Dilantaykeun ialah akhir dari proses berhuma, yaitu mengeringkan padi di pinggiran huma dengan menggunakan tiang bambu. Huma serang dianggap penting karena tidak hanya merupakan kerja awal berhuma bagi seluruh Orang Baduy tetapi juga cerminan keberhasilan penanaman padi. Padi yang dihasilkan dari huma itu terutama untuk keperluan upacara kawalu dan seba sebagai bahan untuk ngalaksa, makanan penting dalam kedua upacara tersebut.
Pria dan wanita, termasuk anak-anak bekerja bersama di huma. Pria melakukan nyacar sampai ngaduruk, sedangkan wanita menumpukkan ranting-ranting untuk kemudian disuruk atau dibakar oleh pria. Bagian penting dari penanaman pare indung (bibit padi utama) dilakukan pria di bagian tengah huma, bagian itu disebut pungpuhunan, yang melambangkan Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi. Kaum pria melakukan muuhan, yaitu membuat lobang dengan aseuk atau tugal kayu, dan wanita menyimpan benih padi di dalamnya, ngored, membersihkan rerumputan dengan alat kored dilakukan wanita, ngubaran pare oleh pria, dan dibuat atau dipanen didahului oleh mipit, memetik pare indung dilakukan oleh pria, kemudian padi itu dikeringkan di sekitar pungpuhunan sampai selesai panen.

6. Struktur dan Organisasi Sosial
Orang Baduy hidup mengelompok menurut asal keturunan dari Tangtu (Inner Baduy) sehingga merupakan keluarga luas yang diikat oleh suatu teritorial atau sejumlah kampung. Ada tiga kelompok kekerabatan dalam kesatuan tangtu itu ialah kelompok tangtu Cikeusik, Cikartawana, dan tangtu Cibeo. Walaupun terdapat kecenderungan uksorilokal, suami istri tinggal dekat kerabat pria (Geise,1952), biasanya seorang pria tangtu itu membawa istrinya ke kampung tempat keluarga luasnya tinggal dan membuat rumah bare. Bagi kelompok masyarakat Baduy Luar (Panamping) tempat tinggal pasangan suami istri baru akan tergantung oleh tersedianya lahan huma atau kemungkinan lainnya. Pada hakekatnya tampak masih terkait hubungan kerabat atau orientasi warga kampung Panamping terhadap kampung Tangtu, atau orientasi menurut alur sistem kekerabatan.
Puun yang berjumlah tiga orang di kampung Tangtu, Cibeo, Cikartawan, dan Cikeusik adalah pemimpin pikukuh (adat, aturan warisan nenek moyang) dan agama Sunda Wiwitan. Para puun itu mengatur tatanan dan fungsi para pemimpin lainnya, sebagai terungkap dari kungkurungan tangtu telu faro tujuh (terlingkup oleh tiga tangtu dan tujuh jaro), yang dipancarkan dalam kegiatan hidup orang Baduy melalui pikukuh sebagai kaidah-kaidah dari karuhun (nenek moyang) yang harus dilaksanakan dari masa ke masa (Garna, 1988). Struktur yang memberi acuan terhadap arah perhatian orang Baduy itu terungkap pula dari pemberian nama untuk setiap kampung Tangtu. Cikeusik ialah Tangtu Padaageung, Cibeo, Tangtu Parahiang, dan Cikartawan adalah Tangtu Kadukujang. Setiap kampung Tangtu berkaitan dengan sejumlah kampung dangka, yaitu kampung di luar Kanekes yang dianggap wilayah Baduy; dangka Padawaras (Cibengkung), dangka Garukgak (Kompol) Padaageung (Cikeusik); Cibeo dangka Sirah Dayeuh (Cihandam), dangka Carungeun dan Cipatik (dalam desa Kanekes); Cikartawana dangka Sanghyang Asuh (Cilenggor), dangka Sindang Nyair (Nungkulan), dan dangka Inggung (Panyaweuyan). Sekarang dari sembilan dangka itu, hanya dua dangka, Padawaras (di kampung Cibengkung) dan Sirah Dayeuh (di kampung Cihandam) yang terletak di luar desa Kanekes, dangka lainnya ditarik kedudukannya ke dalam desa. Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan formal `diakui' oleh para pemimpin adat Baduy, yang dalam struktur sosial mereka relatif tidak banyak merubah tatanannya. Kepala Desa, yang di wilayah Banten Selatan dikenal dengan sebutan jaro, bagi orang Baduy disebut Jaro Pamarentah (Jaro Gubernemen). Jaro itu bertindak sebagai penghubung antara para pemimpin adat dan agama Baduy dengan pemerintah formal, karena itu wilayah mereka disebut desa pun tak menjadi masalah. Di setiap kampung Baduy, terutama kampung-kampung Panamping (Outer Baduy), seperti juga di wilayah desa lainnya terdapat RK (Rukun Kampung), yang untuk desa Kanekes ketua RK disebut kokolotan lembur. Sedangkan pemimpin adat atau agama Baduy disetiap kampung (lembur) disebut Lagondi dan Putih Seda Hurip, yang juga disebut bagawan sawidak lima nenek moyang Baduy Dalam (Inner Baduy); Orang Baduy Luar (Outer Baduy) keturunan para daleum lainnya (Garna, 1988). Sampai akhir abad ke-19 dicatat oleh Jacod dan Meijer sudah terjadi 13 kali pergantian Puun, dan sampai tahun 1988 di Cikeusik sudah mengalami 24 kali pergantian Puun (Garna, 1988).
Karuhun ialah nenek moyang atau generasi pendahulu orang Baduy yang sudah meninggal, mereka dianggap berkumpul di kabuyutan, yaitu Sasaka Domas di hutan tua hulu sungai Ciujung. Dikenal pula makhluk-makhluk halus, yaitu guriang, sanghyang dan wangatua sebagai jelmaan nenek moyang yang mampu melindungi para keturunannya. Buana atau dunia ada tiga, buana nyuncung (dunia atas) yang luas tak terbatas, buana tengah ialah tempat melakukan sebagian besar pengembaraannya, dan buana handap atau buana rarang (buana bawah, tanah) yang juga tak terbatas luasnya. Berkaitan dengan buana itu, mereka juga mengenal ambu (wanita, ibu), yaitu ambu luhur, ambu tengah, dan ambu handap atau ambu rarang, mereka berada di setiap buana sesuai dengan sebutannya.
Pikukuh atau aturan dalam Sunda Wiwitan tak terlepas dari ketentuan untuk: (1) ngabarataakeun inti jagat dan dunia; (2) ngareremokeun, menghormati dengan menjodohkan dewi padi, Sanghyang Asri; dan (3) mengekalkan pikukuh dengan melaksanakan semua ketentuan itu. Baduy Dalam dan Luar, atau Tangtu dan Panamping, ialah dua paroh masyarakat dalam satu satuan budaya serta masyarakat Baduy yang tak terpisahkan, yang juga diikat oleh pikukuh dalam agama Sunda Wiwitan.

7. Baduy Menyimpan Karakteristik Sosial Sunda-Lama
Pengaruh Hindu di Jawa Barat berlangsung secara damai melalui lapisan atas, atau para penguasa kerajaan Sunda Lama, hal itu telah memberi peluang bagi lapisan rakyatnya untuk tetap melangsungkan dan mengembangkan tradisi Sunda pra-Hindu. Karena itu besar kemungkinan tradisi proto-Melayu tetap hidup dan menjadi ciri penting. Dengan pengalaman orang Baduy tersebut, pengaruh-pengaruh yang datang kemudian lebih keras, baik penyebaran Islam di wilayah Banten melalui peperangan maupun penguasaan kolonial Belanda yang strategik itu, sejauh ini mampu disaring melalui mekanisme budaya mereka. Demikian pula halnya setelah kemerdekaan, ajakan dan dorongan pemerintah melalui berbagai program pembangunan masih bisa ditolak, diabaikan maupun bersikap adaptif tanpa merubah tatanan sosialnya (Garna,1975).
Pengembaraan hidup orang Baduy itu telah memberikan pengalaman situasional yang sangat berarti. Akhirnya orang Baduy memiliki warna kehidupan yang Sunda-Lama, Sunda Hindu, Islam dan pemikiran modernisasi, yang setiap unsur itu dijalin sedemikian rupa menjadi bagian integratif dalam budaya Baduy. Tradisi megalitik mengungkapkan penghormatan kepada kabuyutan. Lebak si Bedug di Selatan Kanekes, Kosala di sebelah timur Kanekes, Batu Sirit di barat daya Jasinga adalah sejumlah kabuyutan yang sudah ditinggalkan oleh para pemujanya, yaitu sejak kerajaan Pajajaran ditaklukkan Islam melalui peperangan pada akhir abad ke-16. Sasaka Pusaka Buana, kabuyutan orang Baduy masih tetap berlangsung, kemungkinan besar tak terganggu karena ada kesepakatan antara Sultan Banten Hasanuddin dengan orang Baduy yang telah mengakui kekuasaan Kerajaan Islam Banten tersebut. Penempatan seorang amil di kampung Cicakalgirang dalam desa Kanekes itu dianggap juga pengakuan Kanekes terhadap Islam. Apalagi dengan melakukan seba setiap selesai panen ke Serang pusat Kerajaan Banten sudah dipandang Sultan sebagai ungkapan tunduk kepada Islam. Atas dasar alasan-alasan tersebut maka orang Baduy tidak dikejar dan dihancurkan oleh penguasa Kesultanan Banten.
Manakala VOC (Verenigne Oost Indische Compagnie) menyerahkan kekuasaan berbagai wilayah Indonesia kepada pemerintahan Hindia Belanda, Banten di bawah kekuasaan resident yang membawahi beberapa regentschap (kabupaten). Ibukota kabupaten Lebak yang waktu itu berada di wilayah Leuwidamar sekarang, sedangkan wilayah Baduy langsung berada di bawah asistent-resident der Zuider-districten van Lebak. Perubahan kekuasaan itu perlu diimbangi oleh Kanekes, yaitu para puun memberi tugas kepada salah seorang suku lampah puun (pembantu puun) yang disebut jaro warega sebagai penghubung antara dunia luar dengan Kanekes. Adanya jaro warega itu tidaklah mengganggu sistem jaro sebagai kelompok pemimpin peringkat ketiga, karena dianggap dalam kategori suku lampah puun itu. Hal itu kemudian terbukti, yaitu sewaktu kepala desa diperlukan dalam sistem pemerintahan desa yang baru, jaro warega tetap berfungsi dalam hal keagamaan dan adat bagi Baduy Panamping dan Dangka, posisi baru ditambah dengan seorang jaro, yaitu Jaro Gubernemen sebagai Kepala Desa Kanekes. Bagi orang Baduy pikukuh ialah titipan karuhun, yang secara tegas dinyatakan bahwa;
Buyut nu dititipkeun ka puun                            buyut yang  dititipkan kepada puun
Nagara satelung puluh telu                               negara satelung puluh telu
Bagawan sawidak lima                                    bagawan sawidak lima
Pancer salawe nagara                                     pancer salawe nagara
Gunung teu meunang dilebur                           gunung tak boleh dilebur
Lebak teu meunang diruksak                          lembah tak boleh dirusak
Larangan teu meunang dirempak                      larangan tak boleh dilanggar
Buyut teu meunang dirobah                             buyut tak boleh dirobah
Lojor teu meunang dipotong                             Panjang, tak boleh dipotong
Pondok teu meunang disambung                     pendek, tak boleh disambung
Nu lain kudu dilainkeun                                   yang bukan, ditiadakan
Nu ulah kudu diulahkeun                                 yang jangan, nafikan
Nu enya kudu dienyakeun                                yang benar, dibenarkan

(Prof. H. Judistira Garna, Ph.D)

Seni Budaya Ubrug Banten

Ubrug

Istilah ubrug diambil dari bahasa Sunda yaitu saubrug-ubrug yang artinya bercampur baur. Dalam pelaksanannya, kesenian ubrug ini kegiatannya memang bercampur yaitu antara pemain/pelaku dengan nayaga yang berada dalam satu tempat atau arena. Namun ada pendapat bahwa ubrug diambil dari kata sagebrug yang artinya apa yang ada atau seadanya dicampurkan, maksudnya yaitu antara nayaga dan pemain lainnya bercampur dalam satu lokasi atau tempat pertunjukan.

Kesenian ubrug terdapat di Kecamatan Cikande bagian utara, Kragilan, Carenang, Pontang, Tirtayasa, Kasemen, Ciruas, Walantaka, Taktakan, Waringin Kurung, Kramat Watu, Bojonegara, Merak, Cilegon, Anyar, Mancak, Cinangka, Ciomas, Pabuaran, Padarineang, dan Pamarayan sebelah utara. Di daerah ini bahasa yang digunakan yaitu bahasa Jawa Banten, sedangkan yang berbahasa Sunda terdapat di Kecamatan Cikande sebelah selatan, Kopo, Cikeusal, Baros, Pamarayan Timur dan Selatan serta Petir. Di sini istilah ubrug diganti dengan istilah topeng, walaupun dalam pertunjukannya sama dengan ubrug dan tidak memakai topeng. Mungkin hal ini disebabkan karena Kabupaten Serang bagian tenggara berdekatan dengan Kabupaten Bogor tempat topeng Cisalak berada.


Selain menyebar di daerah Serang, kesenian ubrug ini pun berkembang dan tersebar hingga ke daerah Tangerang, Lebak, Pandeglang bahkan sampai ke Lampung dan Sumatera Selatan.
Pertunjukkan ubrug hampir mirip dengan sandiwara lainnya di Tatar Sunda. Juru nandung (wanita) berperan sebagai pembuka permainan dengan menyanyi Nandung atau disebut ronggeng. Bodor atau pelawak pria bermain dan berpasangan dengan juru nandung dan mengadakan tarian sambil melawak seperti permainan ketuk tilu atau jaipongan. Jika mandor atau ketua RT yang menjadi tuan rumah, biasanya ia selalu ikut di dalam permainan sehingga dengan adanya ketua RT ini, permainan semakin komunikatif dan ramai.


Waditra yang digunakan dalam ubrug yaitu kendang besar, kendang kecil, goong kecil, goong angkeb (dulu disebut katung angkub atau betutut), bonang, rebab, kecrek dan ketuk. Alat-alat ini dibawa oleh satu orang yang disebut tukang kanco karena alat pemikulnya bernama kanco yaitu tempat menggantungkan alat-alat tersebut.

Busana yang dipakai yaitu: juru nandung mengenakan pakain tari lengkap dengan kipas untuk digunakan pada waktu nandung. Pelawak atau bodor pakaiannya disesuaikan dengan fungsinya sebagai pelawak yang harus membuat geli penonton. Bagi nayaga tidak ada ketentuan, hanya harus memakai pakaian yang rapi dan sopan dan pakaian pemain disesuaikan dengan peran yang dibawakannya.

Urutan pertunjukan ubrug yakni sebagai berikut : (1) Tatalu-gamelan ditabuh sedemikian rupa sehingga kedengaran semarak selama 10-15 menit. (2) Lalaguan ini kemudian disambung tatalu singkat sekitar 2 menit dilanjutkan dengan Nandung. (3) Lawakan-lakon atau cerita yang akan disuguhkan. (4) Soder yaitu beberapa ronggeng keluar dengan menampilkan goyang pinggulnya. Para pemain memakaikan kain, baju, topi atau yang lainnya ke tubuh ronggeng. Sambil dipakai, para ronggeng terus menari beberapa saat dan kemudian barang-barang tadi dikembalikan kepada pemiliknya dan si pemilik menerima dengan bayaran seadanya. Soder berlangsung + 20-30 menit.


Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu minyak tanah yang bersumbu dua buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah arena. Lampu blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu gembrong atau lampu petromak.

Ubrug dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda seadanya cukup dengan daun kelapa atau rumbia. Pada saat menyaksikan ubrug, penonton mengelilingi arena.
Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan, baik yang tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat menyaksikannya dari segala arah.

DEBUS BANTEN


Debus merupakan kesenian bela diri dari Banten yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa. Misalnya kebal senjata tajam, kebal air keras dan lain- lain.
Kesenian ini berawal pada abad ke-16, pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570). Pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa (1651—1692) Debus menjadi sebuah alat untuk memompa semangat juang rakyat banten melawan penjajah Belanda pada masa itu. Kesenian Debus saat ini merupakan kombinasi antara seni tari dan suara. Debus lebih dikenal sebagai kesenian asli masyarakat Banten, yang mungkin berkembang sejak abad ke-18. Menurut sebagian banyak sumber sejarah, kesenian debus Banten bermula pada abad 16 masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570) Debus mulai dikenal pada masyarakat Banten sebagai salah satu cara penyebaran agama Islam. Namun ada juga yang menyebutkan Debus berasal dari daerah Timur Tengah bernama Al-Madad yang diperkenalkan ke daerah Banten ini sebagai salah satu cara penyebaran Islam pada waktu itu. Yang lainnya menyebutkan bahwa debus berasal dari tarekat Rifa’iyah Nuruddin al-Raniri yang masuk ke Banten oleh para pengawal Cut Nyak Dien (1848—1908). 
Debus masih diperhitungkan sebagai bagian dari kesenian bela diri tradisional yang kental dengan gerakan bela diri atau silat dan penggunaan senjata. Fokus kesenian Debus adalah pada kekebalan tubuh para pemainnya terhadap benda-benda tajam juga api. Setelah mengucapkan mantra “haram kau sentuh kulitku, haram kau minum darahku, haram kau makan dagingku, urat kawang, tulang wesi, kulit baja, aku keluar dari rahim ibunda. Aku mengucapkan kalimat la ilaha illahu“. Maka pada saat itu juga ia menusukkan golok tersebut ke paha, lengan, perut dan bagian tubuh lainnya. Pada saat atraksi tersebut iapun menyambar leher anak kecil sambil menghunuskan goloknya ke anak tersebut. Anehnya bekas sambaran golok tersebut tidak ada meninggalkan luka yang sangat berbahaya bagi anak tersebut. Atraksi yang sangat berbahaya tersebut biasa kita kenal dengan sebutan Debus, Konon kesenian bela diri debus berasal dari daerah al Madad. Semakin lama seni bela diri ini makin berkembang dan tumbuh besar disemua kalangan masyarakat banten sebagai seni hiburan untuk masyarakat. Inti pertunjukan masih sangat kental gerakan silat atau beladiri dan penggunaan senjata. Kesenian debus banten ini banyak menggunakan dan memfokuskan di kekebalan seseorang pemain terhadap serangan benda tajam, dan semacam senjata tajam ini disebut dengan debus. 

Kesenian ini berkembang pada masa awal tumbuhnya Islam di Banten. Awalnya, kesenian ini digunakan sebagai alat penyebaran agama. Namun, pada masa penjajahan Belanda dan di bawah kepemimpinan Sultan Agung Tirtayasa, kesenian Debus menjadi alat untuk menumbuhkan semangat juang para pasukan Banten
Dalam pertunjukan Debus, pemain dilukai dengan menggunakan senjata tajam. Tetapi, meskipun ditusuk, tubuh pemain tidak tampak luka dan pemainnya sendiri pun tidak tampak kesakitan. Para pemain Debus tidak sembarangan mengadakan pertunjukkan. Mereka diharuskan melalui ritual yang telah dipersiapkan oleh guru mereka. Selain itu, pemain juga diharuskan memiliki iman yang kuat dan teguh terhadap ajaran Islam. Pemain tidak boleh mengkonsumsi minuman keras, main judi, mencuri, dan tindakan kejahatan lainnya. 

Debus dalam bahasa Arab yang berarti senjata tajam yang terbuat dari besi, mempunyai ujung yang runcing dan berbentuk sedikit bundar. Dengan alat inilah para pemain debus dilukai, dan biasanya tidak dapat ditembus walaupun debus itu dipukul berkali kali oleh orang lain. Atraksi atraksi kekebalan badan ini merupakan variasi lain yang ada dipertunjukan debus. Antara lain, menusuk perut dengan benda tajam atau tombak, mengiris tubuh dengan golok sampai terluka maupun tanpa luka, makan bara api, memasukkan jarum yang panjang ke lidah, kulit, pipi sampai tembus dan tidak terluka. Mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tetapi dapat disembuhkan pada seketika itu juga, menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang melekat dibadan hancur, mengunyah beling/serpihan kaca, membakar tubuh. Dan masih banyak lagi atraksi yang mereka lakukan.

Kesenian ini tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu, bersamaan dengan berkembangnya agama islam di Banten. Pada awalna kesenian ini mempunyai fungsi sebagai penyebaran agama, namun pada masa penjajahan belanda dan pada saat pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa. Seni beladiri ini digunakan untuk membangkitkan semangat pejuang dan rakyat banten melawan penjajahan yang dilakukan belanda. Karena pada saat itu kekuatan sangat tidak berimbang, belanda yang mempunyai senjata yang sangat lengkap dan canggih. Terus mendesak pejuang dan rakyat banten, satu satunya senjata yang mereka punya tidak lain adalah warisan leluhur yaitu seni beladiri debus, dan mereka melakukan perlawanan secara gerilya.

Dalam melakukan atraksi ini setiap pemain mempunyai syarat syarat yang berat, sebelum pentas mereka melakukan ritual ritual yang diberikan oleh guru mereka. Biasanya dilakukan 1-2 minggu sebelum ritual dilakukan. Selain itu mereka juga dituntut mempunyai iman yang kuat dan harus yakin dengan ajaran islam. Pantangan bagi pemain debus adalah tidak boleh minum minuman keras, main judi, bermain wanita, atau mencuri. Dan pemain juga harus yakin dan tidak ragu ragu dalam melaksanakan tindakan tersebut, pelanggaran yang dilakukan oleh seorang pemain bisa sangat membahayakan jiwa pemain tersebut.
Menurut beberapa sumber sejarah, debus mempunyai hubungan dengan tarekat didalam ajaran islam. Yang intinya sangat kental dengan filosofi keagamaan, mereka dalam kondisi yang sangat gembira karena bertatap muka dengan tuhannya. Mereka menghantamkan benda tajam ketubuh mereka, tiada daya upaya melainkan karena Allah semata. Kalau Allah tidak mengijinkan golok, parang maupun peluru melukai mereka. Dan mereka tidak akan terluka.
Pada saat ini banyak pendekar debus bermukim di Desa Walantaka, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang. Yang sangat disayangkan keberadaan debus makin lama kian berkurang, dikarenakan para pemuda lebih suka mencari mata pencaharian yang lain. Dan karena memang atraksi ini juga cukup berbahaya untuk dilakukan, karena tidak jarang banyak pemain debus yang celaka karena kurang latihan maupun ada yang “jahil” dengan pertunjukan yang mereka lakukan. Sehingga semakin lama warisan budaya ini semakin punah. Dahulu kita bisa menyaksikan atraksi debus ini dibanyak wilayah banten, tapi sekarang atraksi debus hanya ada pada saat event – event tertentu. Jadi tidak setiap hari kita dapat melihat atraksi ini. Warisan budaya, yang makin lama makin tergerus oleh perubahan jaman.