Senin, 20 Januari 2014

EKSISTENSI BAHASA DAERAH YANG ADA DI BINUANGEUN KECAMATAN SOBANG TERHADAPA BAHASA INDINESIA DAN BAHASA LUAR LAINYA.
Oleh : Hidayatullah
 
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri”. Bahasa merupakan cirri khas dari suatu Negara, bahasa juga merupakan alat komunikasi dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan seseorang bisa mencerminkan kepribadian orang tersebut, yang dapat dilihat dari gaya dan tuturan berbahasanya, itulah mengapa bahasa merupakan simbol penting dari suatu negara.
Diawali terbitanya pajar aku bangun dan lekas mandi untuk mempersiapakan perlengkapan ku untuk pergi ke lebak selatan dengan tujuan menjalankan teugas mata kauliah yang di berikan oleh dosen. Sebelum berangkat aku mengantar orang tua ku terlebih dahulu pergi berobat. Selesi mengantar orang tua pergi beraobat aku pergi ke kampus untuk berkumpul dengan teman-teman di saung Gajebo untuk mempersiapkan pemberangkatan menuju lebak selatan “Binuanguen”. Setelah persiapan pemberangkatan klompok ku yang terdiri dari 25 orang siap untuk berangkat tetapi, aku dalam pemberangkatan tidak bersama klompoku melainka bersama siswa SMK Setia Budhi “Harto Wijaya” yang di ajak oleh ku untuk menulis tentang keadaan masyarakat Binuangeun. Akau berangkat pukul 13.30 karena menunggu siswa SMK yang sedang menjalankan kelas menulis di TBM Kedai proses. Setelah selesai kelas menulis aku dan teman ku berangkat. Tibanya di kecamatan cikulur kampung garura ban motor ku bocor ditambah hujan deras skhirnya kau menenduh di bengkel sambil menambal ban motorku yang bocor. 15 kemudian hujan reda dan akupun melanjutkan kembali perjalan ku, sial di pertenghanjalan aku dan temanku kembali diguyur hujan deras mau tidak mau aku dan teman ku meneduh di warung kopi dan disitu ada pemuda dengan teman-temannya yang sedang meneduh. Mereka adalah pemuda setempat yang sedang mengatur kendaraan yang melintas karena sedang ada perbaikan jalan. Tanpa akau sadari pemuda itu mengajaku curhat karena kodisi jalan yang tidak pernah selesai dalam pembangunan, mereka kecewa dengan pemerintah yang tidak memperdulikan rakyat sehinga kondisi jalan dalam pembangunan nya masih belum selesai bahkan mungkin tidak selesai-selessai. “jalan dari rangkasbitung menuju lebak selatan adalah jalur wisata yangsering di kunjungi oleh masyarakat luar daerah tapi kenapa jalan lintas dari rangkasbitung menujulebak selatan masih banyak jalan yang berlubang sehingga sering terjadi kecelakaan” ujur kata robi pemuda setempat yang sedang mengatur jalan. ‘kemarin juga saya saat pergi tahun baruan ke tempat wisata di sawarna, itu di daerah malingpiang di kp. Kandang sapi jalan masih banyak berlubang” ujur kata teman robi (Iman). Aku pun menjawab denagn tak sengaja “inilah pemerintah yang kurang peduli terhadap kondisi keadaan mayarakat, karena lebak selatan merupakan daerah wisata yang sangat indah pengunjungnya juga bukan hanya dating dari luar daerah akan tetapi dari manca Negara juga ada dan melihat kondisi keadaan ini sangat memprihatin kan padahal di lebak selatan selaindaerah wisata juga daerah penghasil batu bara, apalagi sekarang suadah berdiri perusahaan perusahan besar seharusnya kondisi jalan yang seperti ini “rusak” itu ada perhatianya dari pemerintah dan perusahaan perusahaan yang berada di lebak selatan”. Setelah ngobrol dan curahat panjang tentang kondisi keadaan jalan lebak hujan pun belum reda dari yang kami inginkan akhirna kami memaksakan melanjutkan perajalanan walupun hujan belum reda. Di cileles kami diguyur hujan kembali karena waktu yang sudah terlambat mungkkin kalau kami berhnti dan meneduh kembali kedatangan kita ke Binuangeun akan terlamabt karena aku diberi tanggung jawab oleh teman klompo ku harus mengkondisikan tempat menginap untuk akau dan klompok ku. Akhirnya aku meneruskan perjalanan kusambil hujan-hujanan.
Setiaba di Kecamatan Gunungkencana akau singgah di tempat sodaraku untuk meminjam jashujan karena hujan tak henti-hentinya menguyur badan ku dan juga temanku. Sesampainya di rumah saudaraku Kami singgah sebentar untuk miminjam jas hujan dan…..”the ada jas hujan” dan bibiku menjawab “gak ada yat bibi gak punya jas hujan, meneduh dulu sebentar” ujar kata bbibiku, aku “adu teh udah sore terus udah terlambat lagi temen-temen dayat udah nyampe” Bibi “tapikan hujan yat” biar Bi tanggung basah, yaudah Bi dayat langsung berangkat lagi ajja” Bibi “yaudah yat hati-hati”. Karena tidak mendapatkan jas hujan akupun kami melanjutkan perjalanan walau pun diguyr hujan hingga membasahi tubuh kami. Karena padasaat di rangkas teman ku yang membawa motor setiaba digunung kencana kami gentian membawa motor. Perjalanan kami lanjutakan. Akau berpikir “klompoku sudah mendapatkan penginapan blum ya….” Tak lama kemudian Nurul teman kelompoku menlpon. “dayat ada dimana kita belum punya tempat tinggal nih”, aku “sekarang kamu ada dimana, hujan gak di sana”, Nurul “kita ada di warung, udahnyampeni. Yat kita mau istirahat cape, penginapan kita dimana”, aku “tunggu dulu di situ saya udah ada tempat buaat nginap dari temaen saya Dadand Ombak, tapi belum tau tempatnya”, Nurul “yaudah hati-hati yat”. Di kp.Kopo kami melihat ada tiga kontener yang membawa barang yang sangat berat munkin, kami juga tidak tau apa isi dari ketiga kontener tersebut. Setelah melewati tiga kontener kami di hadang oleh seokor ayam yang melintas dijalanan, karena takut terpeleset ketika mengerem akhirnya akupun menabrak se-ekor ayam, kami tidak tau kondisi ayam itu karena pada saat kita menengok kebelakang kondisi ayam itu sedang sakau atau sekarat, karena kita ketakutan di omelin oleh orang yang ada di situ kami pun kabur melanjutkan perjalanan. Di malingping tepatnya di kp.polotot hujan reda kami pun melewati rombongn dosen yang di dalam molbil tersebut ada teman kami yaitu Dadang Ombak dan Ena Mustari. Kami tiba di tempat pada pukul 14 lewat berapa menit kami juga kurang memperhatikan jam, kami langsung mencari tempat penginapan dan untung nya teman di klompokami mempunyai saudara dan rumah saudaranya kamijadikan tempat untuk menginap.
Setibanya di penginapan saya langsung mandi, dikarnakan kamar mandinya kurang kami menumpang mendi di rumah warga. Dan malamnya kami berkumpul dengan perwakilan klompok yang ada di Binuangeun di pandu oleh dosen KSB yaitu Pak Samsu Bahri “Ucu”. Kami briping mendiskusikan tentang bagai mana cara untuk memperoleh data yang telah ditugaskan dan sudah diberikan tema yaitu tentang tujuh unsure kebudayaan. Diakhir diskusi kami ada sedikit permasalahan tentang klompok 1. Sobang yang pinadah tanpah member tahu kepada ketua klompok dan kepada dosen, akhirnya pak Ucu menyaran kan kepada kita agar memberitahukan kepada angotanya “apa bila ada klompok 1 yang singah di klompok kalian suruh mereka menghadap saya”.
Hari kedua KSB pagi-pagi sekali aku dengan Hrto siswa SMK Setia Budhi disuguhkan denag kebiasaan masyarakat dalam mata pencahariannya, yaitu membuat Sorabi khas Binuangeun. Kamipun bertanya Tanya kepada ibu wati sebagai pembuat kue sorabi. Harto “bu ari keu eta soak di jual kamana bae” jawab ibu wati “saya biasa menjual keparda warga tapi kalau keliling biasanya di beli oleh pengunjung, buat oleh-oleh, adayang dari Cirebon, Jakarta ya pungunjug di luar kp.Binuangeun.” Harto “bu ari cara nyieun na kumaha” jawab Ibu Wati “ini adonan nya dari tepung beras dan dicampur dengan kelapa dan diberi gula untukl takaarannya secukpunya saja” Harto “bu biasana menag sabaraha penghasilan na” jawab “kadang seratus, kadang seratus lima puluh pokonamah berparyasi gak tenteu”.
Sesudahnya bertanya kepada seorang warga, karena pada saat ngobrol dengan seorang warga kondisi kami belum mandi. Setelah itu kami lekas mandi dan sarapan. Pada saat kami mau berangkat mencari data tibataiba hujaun turun dan pencarian data kami tunggu hingga hian reda. Setelah berapa lama kami turun kelapangan dan mencari data. Kami singgah di satu warung milik warga, kami ogobrol ngobrol tentang keadaan yang ada di Binuangeun, dari mata pencaharian, seni, budaya, teknologi dan lain sebagainya. Setaip pertanyaan aku lontarkan kepada si ibu warung dan si bapak, setiap pertanyaan yang saya lontarkan dengan Hrto mereka selalu menjawab dengan bahasa Indonesia. Setelah bertnya kepada se orang ibu warung yang ada di Binuangeun kami singah di tempat mengumpulnya pemuda-pemuda yang ada disana. Pemuda-pemuda disana ramah-ramah akan tetapi mereka harus di Tanya terlebih dahulu seperi saudara Begeng sebutan gaul untuk nama pemuda disana, “a punten ari kabiasaan orang Binuangeun selain nelayan biasana naun nya” jawaban begeng “ari warga ti dieumah saelain nelayan biasan dina mata pencaharian na, biasa berdagang, terus pemud-pemudana sok ngabersihkeun perahu nelayan biasana upahna hasil tina penadapatan nelayan” aku “maksudna kumaha tina panghasilan nelayan” begeng jadi laun nelayan menag banyak ya upah k kamina gedi tapi lamun ker te menang ngabersiken seiklas na tanpa di bayar”.
Selain bertanya kepada pemuda dan warga kami pun bertanya kepada pak Cakraman seorang kokolot di Binuangeun, dalam acara ruatan laut biasanya dia juga sebagai pemimpin dalam berdoa. Beberapa pertanyaan juga kami lontarkan kepada pak Cakraman tentang 7 unsur kebudayaan , tetapi dalam menjawabnya packraman selalu mengunakan bahsa Indonesia. Kami pun menanya kan tentang bahsa yang di gunakan dalam berkomunikasi dengan orang lain atau pengunjung biasanya masyarakat binuangeun menggunakan bahsa apa, pak Cakraman pun menjawab “biasanya kalu ada pengunjung kita warga Binuangeu biasa menggunakan bahas  Indonesia” alasanya kenapa pak “untuk mempermudah dalam memahami dalam berbicara denagn pengunjung”.
Malam terakhir di Binuangeun semua klompok yang ada di Binuangeun mempersentasikan hasil observasi mereka dilapangan. Dan pada saat melakukan persentasi ada beberapa masalah seperti sond yang di bawa oleh lembaga tidak hidup karena batare mckropon yang habis dan mickroponnya salah bawa yang dibawa mickropon yang rusak. Dan juga ada selisih paham yang yang harus dikalripikasi oleh soudara palu alias Qijul alias Rijal Nur al-ghaibi. Tetapi suasana diskusi di binuangeun hidup tidak seperti yang ada di Sobang ketika saya menanyakan teman saying yang berada di Sobang yanitu DC.Aryadi utusan dari lembaga yang membimbing mahasiswa disana. Dc. “uhhhh yat didieumah klompok hiji pada karabur ngan nyesa hiji atuh ngamuk eta nu tinggal hiji terus persentasina arareweh yat bingung sayamah”. Akau “sabar bae’nya bang pertahan kan naba baik mu”. 

Kesimpualn

Dari beberapa warga yang kami tanya dan di ajak mengobrol bahwa kesimpulanya adalah, karena masyarakat Binuangun mayoritas pendatang dari berbagai daerah dan suku seperti Batak, Jawa, Sunda, Bugis, Madura, Betawi dan lain sebagainya. Meneurut penjelasan dari temaen saya Dadang Ombak bahwa ada juga nelayan yangdatang dari benua sebarang yaitu Australia dari suku Armenia. Tapi seiring dengan kedatangan mereka, masyarakat wanasalam tidak melupakan budaya yang di tinggalkan oleh leluhurnya pada jaman dulu menurut Cakraman warga Binuangeun.

Mahasiswa STKIP Setia Budhi Rangkasbitung Jurusan Pendidikan sejarah

43223100300014

Minggu, 19 Januari 2014

PENGARUH BAHASA GAUL  TERHADAP MASYARAKAT BINUANGEN WANASALAM
STKIP SETIA BUDHI RANGKASBITUNG 

Abstrak
Bahasa merupakan alat komunikasi yang arbiter. keberadaannya bersifat alamiah maupun yang keberadaannya karena disengaja. Berdasarkan hal itu, lingkungan bahasa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: lingkungan bahasa alamiah (informal) dan lingkungan bahasa tidak alamiah (formal), (Huda, 1999). Jika fokus pembicara adalah isi komunikasi, lingkungan bahasa itu disebut alamiah; jika fokus pembicara adalah bentuk bahasa, lingkungan bahasa itu disebut tidak alamiah (Dulay dan Burt, 1982). Fungsi bahasa dalam masyarakat tersebut ada tiga yaitu: alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia, Alat mengidentifikasi diri, Macam dan jenis ragam bahasa.
Loyalitas-bahasa penutur bahasa daerah terhadap bahasanya mengalami penurunan, terutama pada ranah keluarga. Padahal, dari keluargalah, terutama, anak memperoleh bahasa itu. Kondisi ini perlu diatasi. Untuk mengatasinya, perlu dilakukan upaya melalui pengajaran. Alternatif pertama, terutama dari TK sampai dengan kelas III SD, bahasa daerah perlu dijadikan bahasa pengantar pembelajaran. Di samping itu, sebagai alternatif kedua, di dalam pengajaran bahasa daerah itu sendiri, perlu diterapkan pendekatan komunikatif. Melalui salah satu atau kedua cara itu, akan tercipta lingkungan baru penggunaan bahasa daerah sebagai pelengkap atau pengganti lingkungan penggunaan bahasa daerah pada ranah keluarga. Lingkungan baru inilah yang akan menciptakan input untuk anak maupun mendorong terciptanya out put dari anak yang keduanya diperlukan bagi terjadinya pemerolehan bahasa daerah. Hanya saja, untuk melakukan upaya pertama, bahasa daerah perlu dikembangkan lebih lanjut; sementara, untuk melakukan upaya kedua, fokus pengajaran bahasa daerah perlu dibatasi, di samping perlunya peningkatan mutu guru bahasa daerah yang telah ada dan pengadaan guru bahasa daerah yang baru melalui pendidikan formal.
Kata-kata kuncinya adalah: bahasa daerah, pengajaran, bahasa pengantar, pendekatan komunikatif.
Daerah Banten menyimpan banyak sekali keindahan tempat wisata. Binuangeun termasuk salah satu kawasan wisata di daerah Banten Selatan. Binuangeun lebih cocok disebut sebagai kawasan wisata pantai karena disitu terdapat banyak pantai mulai dari pantai berpasir hingga pantai karang. Pantai Karang Malang dan panyai Tanjung Panto adalah sebagian pantai yang berlokasi dalam Binuangeun. Binuangeun belum terlalu terkenal di kalangan wisatawan baik domestik maupun asing. Sekalipun belum cukup mencuat namanya di kalangan wisatawan namun Binuangeun cukup ramai dikunjungi oleh wisatawan yang berasal dari daerah sekitar, utamanya saat libur nasional maupun liburan sekolah. Binuangeun  sangat cocok untuk dijadikan tempat rekreasi bersama keluarga besar. Binuangeun selain memanjakan diri para pengunjungnya dengan sajian pantai yang alami dan indah, bagi pengunjung yang gemar memancing pun sangat cocok untuk memancing disini. Binuangeun merupakan penghasil ikan terbesar di daerah Banten. Berbagai macam ikan serta jumlahnya yang tak terhingga, tersimpan dalam birunya air laut Binuangeun. Sejak dahulu Binuangeun selalu dipenuhi oleh pemancing-pemancing mulai dari pemancing yang biasa hingga pemancing yang telah handal dan berpengalaman. Sebutan surga untuk para pemancing pun telah disandang oleh Binuangeun. Pemandangan yang unik di Binuangeun yaitu banyak tempat pelelangan ikan lengkap dengan perahu-perahu nelayan. Tempat pelelangan ikan tersbeut juga melayani pengunjung yang ingin membeli. Jadi di Binaunegun pengunjung dapat menikmati keindahan ditepi pantai sembari membakar ikan.
Dalam konteks kebahasaan ini, peneliti menemukan gejala menurunnya eksistensi bahasa daerah sebagai bahasa pertama dan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di kalangna remaja karena pengaruh moderinasasi, menurut penuturan narasumber yaitu herni mengatakan bahwa remaja kebanyakan turut menggunakan bahasa frokem atau gaul dalam berkomunikasi, hal ini muncul tak hanya berasal dari interaksi sesama remaja saja. Namun pengaruh dari pendatang yang singgah atau tinggal menetap disana yang sering menggunakan bahasa prokem tersebut. Sehingga remaja turut mengikuti gaya bahasanya hanya untuk mengikuti trend dan takut untuk disebut ketinggalan jaman.
Menurut eko yang juga salah satu remaja binuangeun mengatakan bahwa bahasa frokem/gaul yang digunakan remaja binuangeu tak jauh beda dengan remaja yang berada diperkotaan, Karena bahasa gaul tersebut cepat mudah diserap oleh remaja saat ini.  Namun sumber lain seperti pak cakraman mengatakan bahwa bahasa yang mereka gunakan itu hanya untuk memahami apa yang pendatang atau lawan bicara katakana dan tepatnya untuk mempermudah komunikasi saja apa yang mereka ucapkan. Namun mereka tetap menggunkan logat asli bahasa daerah binuangeun. Itulah beberapa fenomena kecil dari eksistensi bahasa frokem atau gaul yang digunakan oleh remaja binuangeun sebagian besar dan elemen masyarakat lain yang sebenarnya turut menghilangkan kualitas bahasa Indonesia dan pamor bahasa daerah disana.
Salah satu dampak dari pembangunan dan perkembangan jaman adalah modernisasi, di mana segala hal yang ada di lingkungan kita harus selalu ter up-to date. Dampak dari modernisasi yang paling terlihat adalah gaya hidup, entah itu cara berpakaian, cara bertutur kata, cara belajar, aplikasi teknologi yang makin maju dan lain-lain. Gaya hidup yang mengarah pada modernisasi tersebut biasanya tampak terlihat pada kalangan masyarakat (remaja) yang berada pada jenjang pendidikan SMA sampai Perguruan Tinggi. Mereka yang ingin diakui sebagai remaja jaman sekarang yang gaul, funky, keren tidak ragu untuk menunjukkan identitas mereka melalui gaya hidup yang modern. Contoh kecilnya kata “Pede” (PD) adalah bahasa gaul yang mengungkapkan perlunya seorang untuk percaya diri, namun ironisnya, himbauan, saran atau perlunya seorang untuk bersikap percaya diri ini juga cenderung tidak dibatasi oleh norma-norma tadi. Misalnya seorang gadis memakai rok mini dan memakai baju you can see disarankan untuk pede dengan pakaiannya itu. Bahkan bisa jadi si gadis memang mersa lebih pede dengan model pakaian demikian.”Pede aja lagi!” begitulah bahasa mereka. Masih banyak contoh lain yang menunjukan perlunya seseorang untuk pede namun tetap normlesness seperti tadi. Sebab ukuran pede yang seharusnya berlandaskan pada keluhuran nilai-nilai moral dan agama, terkikis oleh hal-hal yang bersifat fisik dan kebendaan. Ukuran pede seperti itu , jelas tidak bermutu, selain itu juga keliru. pasalnya pemahaman pede harus lebih ditempatkan dalam ukuran atau standarisasi nilai-nilai akhlak. Buakn karena landasan fisik dan kebendaan semata. contoh penggunaan ungkapan “pede aja lagi” yang baik dan benar : “kalau sudah belajar, pede aja lagi”, “kalau kita berada dalam kebenaran, pede aja lagi”, “kalau sudah berpakaian sopan, pede aja lagi”.
Contoh lain, Ungkapan gaul dong! Ungkapan ini biasanya digunakan anak muda untuk mengejek teman yang kurang mengetahui dan mengikuti informasi yang berkembang saat ini. Jika perkembangan informasi itu baik dalam artian positif dan itu berguna bagi kita memang harus mengikutinya, tapi jika tidak, cukup untuk kita ketahui saja. Ungkapan gaul dong dapat kita gunakan untuk hal yang baik seperti : “sebagai seorang pelajar atau mahasiswa, gaul dong dengan buku!”, “masak remaja muslim gaulnya seperti itu? Gaul dong dengan remaja masjid”. Ungkapan kasihan deh, lo! Ungkapan ini juga termasuk bahasa gaul yang masih cenderung normless. Sebab ungkapan tersebut seringkali terlontar pada konteks yang tidak tepat. Sebagai contoh, seorang remaja yang tidak mau mengikuti tren tertentu dianggap : “kasihan deh, lo!”. Begitu pula dengan remaja yang membatasi diri dari perilaku lainnya yang sesungguhnya memang perlu/harus dihindari karena tidak sesuai denagn nilai atau norma-norma agama. Misalnya karena tidak pernah turun ke diskotik lengkap dengan ngedrink, atau paun perilaku negatif lainnya yang sudah menjadi bagian dari hidup remaja, bisa juga ungkapan “kasihan deh, lo!” ini tertuju pada remaja yang sama sekali tidak mengetahui berbagai informasi yang memang sesungguhnya juga tidak perlu untuk diketahui. contoh penggunaan ungkapan “kasihan deh, lo!” yang baik : “kasihan deh, lo! Masak ngaku pelajar atau mahasiswa tapi berurusan dengan polisi (karena terlibat narkoba misalnya)”, “Masak seorang muslim tidak bisa baca Al Quran. Kasihan deh,lo!
Bahasa gaul telah banyak terasimilasi dan menjadi umum. Bahasa gaul sering digunakan sebagai percakapan sehari-hari dalam pergaulan di lingkungan sosial bahkan dalam media populer sedangkan bahasa daerah tersisihkan seiring berkembangnya jaman.

Sabtu, 06 Juli 2013

Teori - Teori Kebudayaan

1. Teori Evolusionisme

Teori evolusi merupakan buah filsafat materialistik yang muncul bersamaan dengan kebangkitan filsafat-filsafat materialistik kuno dan kemudian menyebar luas di abad ke 19. Seperti telah disebutkan sebelumnya, paham materialisme berusaha menjelaskan alam semesta melalui faktor-faktor materi.
Karena menolak pencipta, pandangan ini menyatakan bahwa segalah sesuatu, hidup ataupun tak hidup, muncul tidak melalui pencipta tetapi dari sebuah peristiwa kebetulan yang kemudian mencapai kondisi teratur. Akan tetapi, akal manusia sedemikian terstruktur sehingga mampu memahami keberadaan sebuah kehendak yang mengatur di mana pun ia menemukan keteraruran.

Filsafat materialistis, yang bertantangan dengan karakteristik paling mendasar akal manusia ini, memunculkan “ teori evolusi” di pertengahan abad ke 19. Serta Teori Evousi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia.

Namun demikian, Charles Darwin adalah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori evolusi yang telah banyak terbukti menghadapi pengujian ilmiah. Sampai saat ini, teori Darwin mengenai evolusi yang terjadi karena seleksi alam dianggap oleh mayoritas komunitas sains sebagai teori terbaik dalam menjelaskan peristiwa evolusi. Darwin melengkapi teori evolusinya dengan menerapkan prinsip yang sama dengan asal-usul spesies kepada asal-usul manusia dan memberikan tempat kepada manusia melakukan proses evolusi dalam rangka seleksi alam dan mempertahankan eksistensinya di alam.
Sangat sulit untuk meninggalkan teori Darwinisme yang sudah berusia lebih dari 150 tahun, tetapi dalam ilmu pengetahuan yang terus berkembang, tak terkecuali teori Darwin yang sudah melegenda itu, serta dapat dibuktikan dengan penelitian terbaru seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi.

Karena ilmu pengetahuan saat ini, berkembang sangat pesatnya, bukan hanya hitungan tahun dan bulan, bahkan bisa dalam hitungan hari dan bahwa teori evolusi ini hanyalah sebuah kebohongan.


2. TEORI FUNGSIOANALISME MENURUT EMILE DURKHEIM

Teori fungsionalisme adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.

Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut.

Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.

Durkheim berpikir bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat, suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Teori fungsionalisme yang menekankan kepada keteraturan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain, dengan kata lain masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi sistem sosial itu. Demikian pula semua institusi yang ada diperlukan oleh sistem sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat dilihat dari kondisi dinamika dalam keseimbangan. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya jika tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.

Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Dalam bukunya "Pembagian Kerja dalam Masyarakat", Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat 'mekanis' dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, menurut Durkheim kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual, norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi. Sedangkan dalam masyarakat modern, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang 'mekanis', misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swasembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu seperti bahan makanan, pakaian, dll untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini. Menurut Durkheim bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif. Seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.

Mengutamakan keseimbangan, dengan kata lain teori ini memandang bahwa semua peristiwa dan struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dimana jika sekelompok masyarakat ingin memajukan kelompoknya, mereka akan melihat apa yang akan d kembangkan dan tetap mempertahankan bahkan melestarikan tradisi-tradisi dan budaya yang sudah berkembang dan menjadikannya sebagai alat modernisasi.
Namun dalam hal ini penganut teori fungsional seringkali mengabaikan variabel konflik dan perubahan sosial dalam analisa mereka, akibatnya mereka seringkali di cap sebagai kelompok konservatif karena terlalu menekankan kepada keteratuan dalam masyarakat dan mengabaikan variabel konflik dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Dalam masyarakat yang beragam kebudayaan akan sangat mudah terjadi konflik, namun teori fungsional akan menjadi garis tengah untuk menjadikan sebuah perbedaan menjadi alat untuk bersatu.

3. Teori Kontak Budaya

Budaya yang lebih tinggi dan aktif akan mempengaruhi budaya yg lebih rendah dan pasif melalui kontak budaya (Malinowski, 1983:21-23). Teori Malinowski ini sangat nampak dalam pergeseran nilai-nilai budaya kita yang condong ke Barat. Dalam era globalisasi informasi menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam mempengaruhi pola pikir manusia. Budaya barat saat ini diidentikkan dengan modernitas (modernisasi), dan budaya timur diidentikkan dengan tradisional atau konvensional. Orang tidak saja mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi Barat sebagai bagian dari kebudayaan tetapi juga meniru semua gaya orang Barat, sampai-sampai yang di Barat dianggap sebagai budaya yang tidak baik tetapi setelah sampai di Timur diadopsi secara membabi buta. 

Seorang yang sudah lama menetap di Australia kemudian mudik ke Indonesia, ia tercengang melihat betapa cepatnya perubahan budaya di Indonesia. Ia saat itu bahkan merasa berada di Amerika. Ada beberapa saluran TV yang menayangkan banyak film Amerika yang penuh dengan adegan kekerasan dan seks. Selama beberapa minggu ia berada di tanah air, ia tidak melihat kesenian tradisional yang ditayangkan di TV swasta seperti yang pernah dilihatnya dahulu di TVRI. Ia kemudian sadar bahwa reog, angklung, calung, wayang golek, gamelan, dan tarian tradisional tidak hanya nyaris tidak ditayangkan di TV, tetapi juga jarang sekali dipertontonkan langsung di tengah-tengah masyarakatnya. Sementara itu, ia justru menemukan Mc. Donald’s, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, dan Dunkin Donuts di sini. Beberapa toserba dan pasar swalayan juga mirip seperti yang ia temukan di luar negeri dengan penataan yang serupa. Kedua tempat berbelanja tersebut bahkan lebih banyak menggunakan petunjuk-petunjuk berbahasa Inggeris, meskipun mayoritas pengunjungnya adalah orang Melayu.

Ia melihat banyak pemuda bergaya masa kini, dengan rambut panjang di buntut kuda, sebelah telinganya beranting, bercelana Levi’s duduk-duduk santai di Mall, seraya meneguk minuman dingin ‘Soft Drink’. Demikian pula pemuda-pemudinya banyak sekali yang hanya menggunakan kaos sepotong yang ketat dan tidak sempat menutup pussarnya, dengan celana panjang yang ketat pula, sedangkan rambutnya disisir dengan gaya semrawut. Di kota-kota besar sudah tumbuh pub-pub, night-club, diskotik dan karaoke yang sangat laris. Restoran-restoran yang menyediakan makanan ala China, dan Eropa.
4. Teori Sinkronisasi dan Tanggapan

Teori Sinkronisasi Budaya (Hamelink, 1983) menyatakan “lalu lintas produk budaya masih berjalan satu arah dan pada dasarnya mempunyai mode yang sinkronik . Negara-negara Metropolis terutama Amerika Serikat menawarkan suatu model yang diikuti negara-negara satelit yang membuat seluruh proses budaya lokal menjadi kacau atau bahkan menghadapi jurang kepunahan. Dimensi-dimensi yang unik dari budaya Nusantara dalam spektrum nilai kemanusiaan yang telah berevolusi berabad-abad secara cepat tergulung oleh budaya mancanegara yang tidak jelas manfaatnya. Ironisnya hal tersebut justru terjadi ketika teknologi komunikasi telah mencapai tataran yang tinggi, sehingga kita mudah melakukan pertukaran budaya.

(Dalam sumber yang sama) Hamelink juga mengatakan, bahwa dalam sejarah budaya manusia belum pernah terjadi lalu lintas satu arah dalam suatu konfrontasi budaya seperti yang kita alami saat ini. Karena sebenarnya konfrontasi budaya dua arah di mana budaya yang satu dengan budaya yang lainnya saling pengaruh mempengaruhi akan menghasilkan budaya yang lebih kaya (kompilasi).

Sedangkan konfrontasi budaya searah akan memusnahkan budaya yang pasif dan lebih lemah. Menurut Hamelink, bila otonomi budaya didefinisikan sebagai kapasitas masyarkat untuk memutuskan alokasi sumber-sumber dayanya sendiri demi suatu penyesuaian diri yang memadai terhadap lingkungan, maka sinkronisasi budaya tersebut jelas merupakan ancaman bagi otonomi budaya masyarakatnya.

5. Teori Tindakan atau Action Theory

Teori tindakan atau action theory (Talcott Parson, E. Shils, Robert K. Merton dan lain-lain). Kebudayaan (berdasarkan teori tindakan ini) terdiri dari empat komponen sebagai berikut Sistem Budaya ‘Culture System’; Sistem Sosial ‘Social System’; Sistem Kepribadian ‘Personality System’; dan Sistem Organik ‘Organic System’.
Sistem Budaya ‘Culture System’ yang merupakan komponen yang abstrak dari kebudayaan yang terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, konsep-konsep, tema-tema berpikir dan keyakinan-keyakinan (lazim disebut adat-istiadat).

Di antara adat-istiadat tersebut terdapat “sistem nilai budaya”, “sistem norma” yang secara khusus dapat dirinci dalam berbagai norma menurut pranata yang ada di masyarakat. Fungsi sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah-laku manusia.
 Sistem Sosial ‘Social System’; terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia atau tindakan-tindakan dari tingkah laku berinteraksi antarindividu dalam bermasyarakat. Sebagai rangkaian tindakan berpola yang berkaitan satu sama lain, sistem sosial itu bersifat kongkrit dan nyata dibandingkan dengan sistem budaya (tindakan manusia dapat dilihat atau diobservasi).

Interaksi manusia di satu pihak ditata dan diatur oleh sistem budaya. Namun di lain pihak dibudayakan menjadi pranata-pranata oleh nilai-nilai dan norma tersebut.
 Sistem Kepribadian ‘Personality System’; adalah soal isi jiwa dan watak individu yang berinteraksi sebagai warga masyarakat. Kepribadian individu dalam suatu masyarakat walaupun satu sama lain berbeda-beda, namun dapat distimulasi dan dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma dalam sistem budaya dan dipengaruhi oleh pola-pola bertindak dalam sistem sosial yang telah diinternalisasi melalui proses sosialisasi dan proses pembudayaan selama hidup, sejak kecilnya. Dengan demikian sistem kepribadian manusia berfungsi sebagai sumber motivasi dari tindakan sosialnya.


Dan Sistem Organik ‘Organic System’ melengkapi seluruh kerangka sistem dengan mengikut-sertakan proses biologik dan bio kimia ke dalam organisme manusia sebagai suatu jenis makhluk alamiah. Proses biologik dan biokimia tersebut apabila dipelajari lebih dalam ikut menentukan kepribadian individu, pola-pola tindakan manusia, dan bahkan gagasan-gagasan yang dicetuskan (Koentjaraningrat, 1980: 235-236). Kebiasaan suku Lampung bila menghidangkan tamu yang dihormati, atau kerabat yang dihormati adalah menyuguhkan kepala ikan ‘culture system’.

Budaya ini tidak boleh dipahami dari sudut pandangan orang Jawa atau orang Sunda, di mana kebiasaan kedua suku tersebut apabila memberikan jamuan makan dengan hidangan kepala ikan dianggap sebagai suatu penghinaan ‘social system’. Sebagai ilmuwan kita harus memahami budaya tersebut dari budaya daerah itu sendiri atau dari induk budayanya.

Ikan-ikan yang ada di Lampung adalah ikan-ikan besar dan orang Lampung tidak mau mengkonsumsi ikan yang kecil-kecil, kecuali dibuat terasi atau makanan lainnya. Ikan yang biasa dimakan mereka adalah ikan yang “rasa kepalanya enak”, seperti ikan baung, jelabat, dan sebagainya.

Orang Lampung tidak menghidangkan ikan seperti mujair, gurami, tawes, wader, dan sebagainya untuk menjamu tamu yang dihormati. Maka karena rasa kepala ikan baung, ikan jelabat sangat enak, dan ikannya besar ‘organic system’, maka sangat wajar bila mereka menghidangkan ikan kepada tamunya pada bagian kepalanya. Sebaliknya jenis ikan di Jawa adalah ikan yang kecil-kecil sehingga kalau memberikan suguhan ikan pada kepalanya sama (nilainya) dengan memberi kucing. Oleh karena itu, menjelaskan suatu budaya haruslah dipahami dari budaya (atau sistem budaya yang berlaku) itu sendiri.

6. Theory orientation value of culture teori orientasi nilai budaya

Teori Oreantasi Nilai Budaya ‘Theory Oreantation Value of Culture’. Menurut Kluckhon dan Strodberck soal-soal yang paling tinggi nilainya dalam kehidupan manusia dan yang ada dalam tiap kebudayaan di dunia ini menyangkut paling sedikit lima hal, yakni
  • Human Nature atau makna hidup manusia;
  • Man Nature atau persoalan hubungan manusia dengan alam sekitarnya;
  • Persoalan Waktu, atau persepsepsi manusia terhadap waktu;
  • Persoalan Aktivitas ‘Activity’, persoalan mengenai pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia; dan
  • Persoalan Relasi ‘Relationality’ atau hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Dalam kenyataannya selalu beroreantasi pada nilai-nilai Pancasila, karena Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa Indonesia ternyata bukan hanya sekedar simbol-simbol, atau slogan dengan rangkaian kata-kata yang indah tetapi memiliki arah berupa nilai yang menjadi oreantasi budaya yang sangat tinggi nilainya, di mana masing-masing sila memuat kelima hal atau sila yang sangat tinggi nilainya. Masing-masing sila memuat makna hidup manusia, makna sosial, hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya, dan arah aktivitas yang selalu disinari oleh sila yang pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

Masyarakat Tradisional Banten

A. PENDAHULUAN 

Wilayah Banten yang meliputi empat daerah, Kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak dan Tangerang itu telah menjalani dan mengalami proses sejarah yang panjang. Jalan lintas Sumatera - Jawa melalui wilayah ini mulai berlangsung intensif di akhir abad ke-19; dengan jumlah penduduk yang relatif kecil masa lampau dan kini (2.616.787 orang, tahun 1989) dibandingkan dengan wilayahnya yang luas itu, budaya penduduknya mampu menyimpan identitas tersendiri serta jiwa heroisme yang tinggi.

Kelompok masyarakat Baduy di Kanekes adalah pemukim daerah itu yang telah berada di sana jauh sebelum masa kejayaan Kerajaan Pajajaran. Migrasi dua kelompok masyarakat Melayu Awal dan Melayu Akhir di masa silam bukan saling desak melalui peperangan, tetapi berlangsung secara damai dengan saling memberi lahan hidup. Daerah penghunian dan lahan kegiatan hidupnya yang luas itu, kemudian memberi peluang mengembangkan kebudayaannya serta kualitas kehidupan yang makin tak sama dengan kelompok lainnya.

Kiranya perlu untuk memahami makna sebenarnya dari konsep tradisi, tradisional, pelestarian dan nilai-nilai budaya agar tepat pemakaiannya. Tradisi ialah adat atau kebiasaan sosial yang diturunkan dari suatu generasi kepada generasi lainnya melalui proses sosialisasi, yaitu pembentukan tingkah laku melalui pengalaman di dalam keadaan sosial tertentu. Manakala setiap individu itu lahir dan berada ke dalam satu sistem sosial yang akan memberi tekanan kepadanya akan norma dan nilai yang harus diterima oleh individu tesebut sebagai warga masyarakatnya. Tradisi itu menentukan nilai dan moral suatu masyarakat, termasuk aturan tentang salah-benar, atau baik-buruk sesuatu yang dilihat.

Konsep tradisi juga meliputi worldview, atau pandangan dunia yang mengaitkan kepercayaan tentang masalah hidup-mati dan peristiwa-peristiwa alam serta makhluknya. Dengan demikian konsep tradisi terkait erat dengan sistem kepercayaan, nilai-nilai dan cara berfikir suatu masyarakat. Masyarakat tradisional Banten diartikan suatu masyarakat yang memiliki tradisi-tradisi tertentu sebagai karakteristiknya. Pelestarian seharusnya mengandung hakekat untuk mengekalkan berbagai ciri itu yang telah diperoleh budaya tersebut melalui proses kehidupannya dan pengaruh yang diterima. Pelestarian itu tidak menolak pengaruh- pengaruh luar, manakala pengaruh itu mampu diserap dan diolah menjadi bagian pelengkap budayanya. Sedangkan setiap kebudayaan, termasuk budaya wilayah Banten, akan memiliki mekanisme semacam itu dalam sistem budaya mereka; seperti dapat dikemukakan (Garna,1982) bahwa;


B. ORANG BADUY DI KANEKES

1. Orang Baduy di Kanekes
Orang Baduy yang bermukim di desa Kanekes,_ wilayah kecamatan Leuwi Damar, kabupaten Lebak, Banten; dianggap memiliki ciri-ciri sosial budaya seperti masyarakat Sunda Lama, yang kini sistem sosial seperti itu telah pudar pada kelompok masyarakat lain di Jawa Barat (van Hoevell, 1844; Blume, 1845; Korders, 1869a, 1869b; von Ende, 1889; Jacob and Meijer, 1891; van richt, 1929, 1930; Geise, 1952; Berthe, 1965, 1970; Garna, 1975a, 1975b, 1980, 1984, 1985, 1987a, 1987b, 1987c, 1988, 1990, dan 1991). Untuk memahami dan meneliti aspek lainnya tentang orang Baduy akan memerlukan rekonstruksi, gambaran tentang mereka, termasuk struktur dan organisasi sosial, melalui kesan-kesan yang diperoleh dari serangkaian hasil penelitian dan analisis eksistensi orang Baduy.

Dari berbagai situs purbakala di wilayah Banten bagian selatan, Lebak si Bedug, Kosala, Gunung Dangka, dan Sasaka Domas di Kanekes, dapat menunjukkan bahwa budaya megalitik ialah lingkungan budaya orang Baduy masa lalu yang berlanjut hingga masa kini. Demikian pula halnya dengan penghormatan kepada nenek moyang (kabuyutan), salah satu ciri penting dalam sistem kepercayaan Nusantara, yang bagi orang Baduy hingga kini hampir tak tergoyahkan oleh pengaruh luar masyarakatnya.

Di wilayah Banten pengaruh luar diawali oleh kebudayaan Hindu melalui agama yang dianut oleh para penguasa kerajaan Tarumanagara dan Pajajaran serta kerajaan kecil lainnya di wilayah Banten atau Jawa Barat bagian tengah. Pada abad ke-16 kekuasaan Pajajaran itu terdesak dan sirna oleh penyebaran Islam yang dilakukan oleh kesultanan Cirebon dengan bantuan kerajaan Demak, kemudian berdirilah kesultanan Banten yang Islam. Orang Baduy tampaknya hanya tersentuh sedikit saja oleh kuasa kerajaan lama dan baru yang menguasai wilayah luas Banten itu. Pengaruh Barat yang pada masa kerajaan Pajajaran datang melalui pelabuhan Sunda Kelapa, dan pada masa kesultanan Banten melalui perdagangan pesat di pelabuhan Banten Lama tampaknya tidak juga banyak mempengaruhi kehidupan orang Baduy. Kecenderungan bahwasanya makin tinggi arus pengaruh budaya luar makin mantap sistem sosial orang Baduy merupakan hal yang menarik guna memahami kelompok masyarakat ini. Pusat kekuasaan kerajaan Sunda-Hindu maupun Islam itu adalah terletak di pedalaman, walupun demikian mereka mampu berhubungan cepat dengan dunia luar karena memiliki pelabuhan di pantai laut Sunda Kelapa dan Banten Lama yang dihubungkan pada pusat kerajaan melalui sungai.
 
2. Nama dan Bahasa
Sebutan Urang Baduy bagi seluruh penduduk Kanekes yang tinggal di lereng Pegunungan Kendeng itu bukanlah berasal dari sebutan mereka sendiri. Orang Belanda menyebut mereka badoe'i, badoei, badoewi, Kanekes dan Rawayan (van Hoevel,1845; Jacob and Meijer, 1891; Pennings,1902; Pleyte, 1909; van Tricht, 1929; dan geise, 1952). Penduduk Islam Banten juga menyebut mereka Urang Baduy (orang Baduy), yang besar kemungkinan disebabkan oleh anggapan yang menyamakan dengan kelompok masyarakat pengembara di Arab, orang Badawi. Kemungkinan lain ialah sebutan diri itu diambil dari nama Sungai Cibaduy atau Gunung Baduy yang berada di wilayah mereka.
Adapun sebutan diri yang biasa mereka lakukan ialah mengacu kepada asal kampung, atau paroh masyarakat dari ruang mereka menjadi bagian dari padanya; seperti urang Kanekes (Inner dan Outer Baduy), Urang Panamping (outer Baduy), Urang Girang (Inner Baduy), urang Kaduketug (menyebut asal kampung).
Seluruh penduduk Kanekes adalah Orang Baduy, tidak tercampur oleh penduduk luar, kecuali dari kampung Cicakalgirang terdapat tinggal keluarga Banten Islam, keturunan dari pemukim yang keberadaannya merupakan salah satu persetujuan Puun, pemimpin Baduy dengan Sultan Banten di abad ke-16. Bahasa Baduy termasuk dalam kategori dialek Sunda-Banten, yaitu subdialek Baduy (Meijer, 1891; Widjajakusumah, 1981: 9), tidak dipengaruhi bahasa Jawa Banten seperti halnya subdialek Banten lainnya. Bahasa Baduy tidak dimiliki undak usuk, kola kata dan aksen tinggi dalam lagu kalimat serta beberapa jenis struktur kalimat yang khas. Perkembangan bahasa Sunda di Jawa Barat tampaknya telah menjadikan subdialek Baduy makin jauh dari bahasa Sunda lulugu yang dianggap baku, karena itu pemakaian partikel, bentukan kata, aksen kata dan pemakaian fonem makin berbeda sehingga subdialek Baduy dianggap bahasa tersendiri.

3. Desa Kanekes
Luas wilayah Desa Kanekes 5.101,85 Ha yang merupakan bagian dari kecamatan Leuwidamar, kabupaten DT.II Lebak. Wilayah ini berbukit-bukit dengan kemiringan lereng rata-rata 45 % dan tinggi dari permukaan laut berkisar antara 100 - 150 m (Pemda Kab. Lebak, 1993). Sungai Ciujung yang mengalir di daerah ini mempunyai anak sungai, Cisimeut, Cibarani, Cibeneung, dan Cipatahiang. Sungai-sungai itu mengalir ke bagian utara Banten, yang penduduknya bersawah. Keadaan tanah dapat dibagi dalam 3 bagian, yang di sebelah utara daerah pegunungan vulkanik, bagian tengah endapan tanah pegunungan, dan bagian selatan campuran tanah pegunungan dan endapannya yang menjulang tinggi. Jenis tanah adalah latosol coklat, aluvial coklat dan andosol, sedangkan curah hujan 4.000 mmltahun dengan suhu rata-rata lebih dari 90 °C (Tim forestry Indonesia, 1985:7).
Beberapa ratus tahun yang lalu wilayah Baduy itu lebih luas lagi; sebagaimana pernah dikenal adanya kelompok masyarakat Baduy, orang Baduy Karang di daerah kecamatan Sajira sekarang, dan orang Are merupakan sebutan bagi orang Baduy yang sudah menjadi penduduk Islam di sekitar Kanekes sekarang. Luas asal wilayah Baduy tersebut diperkirakan meliputi beberapa wilayah kecamatan sekarang seperti kecamatan Muncang, Sajira, Cimarga, Maja, Bojongmanik, dan kecamatan Leuwidamar (Garna, 1988). Penyempitan wilayah tersebut dimulai oleh upaya Kesultanan Banten yang kemudian diteruskan oleh pemerintahan Hindia-Belanda melalui upaya Patih Derus (van Tricht, 1929:69-71; Garna, 1978).

4. Populasi
Pada tahun 1888 penduduk Baduy tercatat sebanyak 291 orang yang tinggal di sepuluh buah kampung, tahun 1899 berjumlah 1.407 orang di 26 bush kampung (Jacob and Neijer, 1891; Pennings,1902).
Sebelum sensus penduduk tahun 1930 terdapat 2 laporan tentang penduduk Kanekes, yaitu tahun 1908 berjumlah 1.547 orang (Djajadiningrat, 1928) dan tahun 1928 berjumlah 1.521 orang (van Tricht,1929).
Tahun 1966 dari seluruh penduduk kecamatan Leuwidamar yang berjumlah 22.882 orang itu, orang Baduy berjumlah 3.935 orang; tahun 1980 berjumlah 4.057 orang; dan tahun 1983 berjumlah 4.574 orang (Garna, 1985; 1987; 1988). Pada saat ini jumlah orang Baduy adalah 5.649 orang, yang terdiri dari 2.860 pria dan 2.789 wanita (Profil Desa Kanekes, 1993).

5. Huma: Sumber Mata Pencaharian Hidup
Dalam tradisi kehidupan orang Baduy terdapat 6 jenis huma, yang dibedakan oleh lokasi, fungsi dan pemilikannya, yaitu huma Serang, ladang yang dianggap suci, Tangtu; huma Puun, ladang yang dikerjakan dan khusus bagi Puun; huma tangtu, ladang yang dikerjakan oleh orang Baduy Dalam atau orang tangtu; huma Tuladan atau huma Jaro, ladang Jaro pamarentah yang wajib dikerjakan oleh warga Baduy Panamping atau Baduy Luar; huma Panamping, yaitu ladang warga Panamping yang dikerjakan sendiri bersama keluarganya; dan huma Urang Baduy, yaitu ladang di luar Desa Kanekes yang disewa secara bagi hasil atau sewa uang dengan warga desa lain (Garna,1988).
Padi atau pare yang ditanam adalah jenis padi lokal, yang secara turun-temurun diperoleh dari pare indung atau bibit padi masa tanam sebelumnya. Selain padi orang Baduy mengenal hampir 80 jenis tanaman untuk huma (Tim Forestry Indonesia, 1985), seperti Hamiru (Veronea arborea Buch), hiris (Cajanus cajan gobi L.), jaat (Psopapocarpus tetragonolobus Dc.), roay (Dolichoslablab), dan walu (Sesamun indicum). Selain itu mereka mengenal kira-kira sebanyak 54 tanaman hutan, termasuk jenis kayu, seperti angsana (Peterocafpus omdohcuus Willd), kawung (Arenga pinnata (Wrumb) Merr), binglu (Mangifera caosia Jack cx Wall).
Tabel 1. Proses Berhuma Orang Baduy

No.
Bulan
Jenis Kegiatan
Di
I
Kapat
Narawas
Tangtu, Dangku,
2
Kalima
Narawas
Panamping
3
Kanem
Nyacar, Nukuh
Tangtu, Dangku,
4
Katujuh
Ganggang, Ngaduruk
Panamping
5
Kadalapan
Ngaseuk
Tangtu, Dangku,
6
Kasalapan
Ngaseuk
Panamping
7
Hapit Lemah
Ngaseuk
Tangtu
9
Kapit Kayu
Ngirab sawan, Ngubaran
Huma serang
10
Kasa
Ngirab sawan,Ngubaran
Tangtu
11
Karo
Dibuat
Dangka, Panamping
12
Katiga
Dibuat
Tangtu, Dangka,



Panamping



Huma serang



Huma Puun



Tangtu, Dangka,



Panamping

Keterangan : Tangtu = Inner Baduy, Dangka = Baduy enclave, panamping = Outer Baduy, huma serang = huma suci, huma Puun = huma milik Puun.

Proses atau pengerjaan huma dilakukan menurut urutan penanggalan Baduy, sebutan bulan itu tidak sama dengan bahasa Sunda Priangan. Proses itu mulai dengan narawas nyacar nukuh ganggang ngaduruk ngaseuk ngirab sawan ngubaran mipit dibuat dilantaykeun; kemudian barulah ngujal atau diangkut ke leuit (lumbung padi) di kampung. Dilantaykeun ialah akhir dari proses berhuma, yaitu mengeringkan padi di pinggiran huma dengan menggunakan tiang bambu. Huma serang dianggap penting karena tidak hanya merupakan kerja awal berhuma bagi seluruh Orang Baduy tetapi juga cerminan keberhasilan penanaman padi. Padi yang dihasilkan dari huma itu terutama untuk keperluan upacara kawalu dan seba sebagai bahan untuk ngalaksa, makanan penting dalam kedua upacara tersebut.
Pria dan wanita, termasuk anak-anak bekerja bersama di huma. Pria melakukan nyacar sampai ngaduruk, sedangkan wanita menumpukkan ranting-ranting untuk kemudian disuruk atau dibakar oleh pria. Bagian penting dari penanaman pare indung (bibit padi utama) dilakukan pria di bagian tengah huma, bagian itu disebut pungpuhunan, yang melambangkan Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi. Kaum pria melakukan muuhan, yaitu membuat lobang dengan aseuk atau tugal kayu, dan wanita menyimpan benih padi di dalamnya, ngored, membersihkan rerumputan dengan alat kored dilakukan wanita, ngubaran pare oleh pria, dan dibuat atau dipanen didahului oleh mipit, memetik pare indung dilakukan oleh pria, kemudian padi itu dikeringkan di sekitar pungpuhunan sampai selesai panen.

6. Struktur dan Organisasi Sosial
Orang Baduy hidup mengelompok menurut asal keturunan dari Tangtu (Inner Baduy) sehingga merupakan keluarga luas yang diikat oleh suatu teritorial atau sejumlah kampung. Ada tiga kelompok kekerabatan dalam kesatuan tangtu itu ialah kelompok tangtu Cikeusik, Cikartawana, dan tangtu Cibeo. Walaupun terdapat kecenderungan uksorilokal, suami istri tinggal dekat kerabat pria (Geise,1952), biasanya seorang pria tangtu itu membawa istrinya ke kampung tempat keluarga luasnya tinggal dan membuat rumah bare. Bagi kelompok masyarakat Baduy Luar (Panamping) tempat tinggal pasangan suami istri baru akan tergantung oleh tersedianya lahan huma atau kemungkinan lainnya. Pada hakekatnya tampak masih terkait hubungan kerabat atau orientasi warga kampung Panamping terhadap kampung Tangtu, atau orientasi menurut alur sistem kekerabatan.
Puun yang berjumlah tiga orang di kampung Tangtu, Cibeo, Cikartawan, dan Cikeusik adalah pemimpin pikukuh (adat, aturan warisan nenek moyang) dan agama Sunda Wiwitan. Para puun itu mengatur tatanan dan fungsi para pemimpin lainnya, sebagai terungkap dari kungkurungan tangtu telu faro tujuh (terlingkup oleh tiga tangtu dan tujuh jaro), yang dipancarkan dalam kegiatan hidup orang Baduy melalui pikukuh sebagai kaidah-kaidah dari karuhun (nenek moyang) yang harus dilaksanakan dari masa ke masa (Garna, 1988). Struktur yang memberi acuan terhadap arah perhatian orang Baduy itu terungkap pula dari pemberian nama untuk setiap kampung Tangtu. Cikeusik ialah Tangtu Padaageung, Cibeo, Tangtu Parahiang, dan Cikartawan adalah Tangtu Kadukujang. Setiap kampung Tangtu berkaitan dengan sejumlah kampung dangka, yaitu kampung di luar Kanekes yang dianggap wilayah Baduy; dangka Padawaras (Cibengkung), dangka Garukgak (Kompol) Padaageung (Cikeusik); Cibeo dangka Sirah Dayeuh (Cihandam), dangka Carungeun dan Cipatik (dalam desa Kanekes); Cikartawana dangka Sanghyang Asuh (Cilenggor), dangka Sindang Nyair (Nungkulan), dan dangka Inggung (Panyaweuyan). Sekarang dari sembilan dangka itu, hanya dua dangka, Padawaras (di kampung Cibengkung) dan Sirah Dayeuh (di kampung Cihandam) yang terletak di luar desa Kanekes, dangka lainnya ditarik kedudukannya ke dalam desa. Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan formal `diakui' oleh para pemimpin adat Baduy, yang dalam struktur sosial mereka relatif tidak banyak merubah tatanannya. Kepala Desa, yang di wilayah Banten Selatan dikenal dengan sebutan jaro, bagi orang Baduy disebut Jaro Pamarentah (Jaro Gubernemen). Jaro itu bertindak sebagai penghubung antara para pemimpin adat dan agama Baduy dengan pemerintah formal, karena itu wilayah mereka disebut desa pun tak menjadi masalah. Di setiap kampung Baduy, terutama kampung-kampung Panamping (Outer Baduy), seperti juga di wilayah desa lainnya terdapat RK (Rukun Kampung), yang untuk desa Kanekes ketua RK disebut kokolotan lembur. Sedangkan pemimpin adat atau agama Baduy disetiap kampung (lembur) disebut Lagondi dan Putih Seda Hurip, yang juga disebut bagawan sawidak lima nenek moyang Baduy Dalam (Inner Baduy); Orang Baduy Luar (Outer Baduy) keturunan para daleum lainnya (Garna, 1988). Sampai akhir abad ke-19 dicatat oleh Jacod dan Meijer sudah terjadi 13 kali pergantian Puun, dan sampai tahun 1988 di Cikeusik sudah mengalami 24 kali pergantian Puun (Garna, 1988).
Karuhun ialah nenek moyang atau generasi pendahulu orang Baduy yang sudah meninggal, mereka dianggap berkumpul di kabuyutan, yaitu Sasaka Domas di hutan tua hulu sungai Ciujung. Dikenal pula makhluk-makhluk halus, yaitu guriang, sanghyang dan wangatua sebagai jelmaan nenek moyang yang mampu melindungi para keturunannya. Buana atau dunia ada tiga, buana nyuncung (dunia atas) yang luas tak terbatas, buana tengah ialah tempat melakukan sebagian besar pengembaraannya, dan buana handap atau buana rarang (buana bawah, tanah) yang juga tak terbatas luasnya. Berkaitan dengan buana itu, mereka juga mengenal ambu (wanita, ibu), yaitu ambu luhur, ambu tengah, dan ambu handap atau ambu rarang, mereka berada di setiap buana sesuai dengan sebutannya.
Pikukuh atau aturan dalam Sunda Wiwitan tak terlepas dari ketentuan untuk: (1) ngabarataakeun inti jagat dan dunia; (2) ngareremokeun, menghormati dengan menjodohkan dewi padi, Sanghyang Asri; dan (3) mengekalkan pikukuh dengan melaksanakan semua ketentuan itu. Baduy Dalam dan Luar, atau Tangtu dan Panamping, ialah dua paroh masyarakat dalam satu satuan budaya serta masyarakat Baduy yang tak terpisahkan, yang juga diikat oleh pikukuh dalam agama Sunda Wiwitan.

7. Baduy Menyimpan Karakteristik Sosial Sunda-Lama
Pengaruh Hindu di Jawa Barat berlangsung secara damai melalui lapisan atas, atau para penguasa kerajaan Sunda Lama, hal itu telah memberi peluang bagi lapisan rakyatnya untuk tetap melangsungkan dan mengembangkan tradisi Sunda pra-Hindu. Karena itu besar kemungkinan tradisi proto-Melayu tetap hidup dan menjadi ciri penting. Dengan pengalaman orang Baduy tersebut, pengaruh-pengaruh yang datang kemudian lebih keras, baik penyebaran Islam di wilayah Banten melalui peperangan maupun penguasaan kolonial Belanda yang strategik itu, sejauh ini mampu disaring melalui mekanisme budaya mereka. Demikian pula halnya setelah kemerdekaan, ajakan dan dorongan pemerintah melalui berbagai program pembangunan masih bisa ditolak, diabaikan maupun bersikap adaptif tanpa merubah tatanan sosialnya (Garna,1975).
Pengembaraan hidup orang Baduy itu telah memberikan pengalaman situasional yang sangat berarti. Akhirnya orang Baduy memiliki warna kehidupan yang Sunda-Lama, Sunda Hindu, Islam dan pemikiran modernisasi, yang setiap unsur itu dijalin sedemikian rupa menjadi bagian integratif dalam budaya Baduy. Tradisi megalitik mengungkapkan penghormatan kepada kabuyutan. Lebak si Bedug di Selatan Kanekes, Kosala di sebelah timur Kanekes, Batu Sirit di barat daya Jasinga adalah sejumlah kabuyutan yang sudah ditinggalkan oleh para pemujanya, yaitu sejak kerajaan Pajajaran ditaklukkan Islam melalui peperangan pada akhir abad ke-16. Sasaka Pusaka Buana, kabuyutan orang Baduy masih tetap berlangsung, kemungkinan besar tak terganggu karena ada kesepakatan antara Sultan Banten Hasanuddin dengan orang Baduy yang telah mengakui kekuasaan Kerajaan Islam Banten tersebut. Penempatan seorang amil di kampung Cicakalgirang dalam desa Kanekes itu dianggap juga pengakuan Kanekes terhadap Islam. Apalagi dengan melakukan seba setiap selesai panen ke Serang pusat Kerajaan Banten sudah dipandang Sultan sebagai ungkapan tunduk kepada Islam. Atas dasar alasan-alasan tersebut maka orang Baduy tidak dikejar dan dihancurkan oleh penguasa Kesultanan Banten.
Manakala VOC (Verenigne Oost Indische Compagnie) menyerahkan kekuasaan berbagai wilayah Indonesia kepada pemerintahan Hindia Belanda, Banten di bawah kekuasaan resident yang membawahi beberapa regentschap (kabupaten). Ibukota kabupaten Lebak yang waktu itu berada di wilayah Leuwidamar sekarang, sedangkan wilayah Baduy langsung berada di bawah asistent-resident der Zuider-districten van Lebak. Perubahan kekuasaan itu perlu diimbangi oleh Kanekes, yaitu para puun memberi tugas kepada salah seorang suku lampah puun (pembantu puun) yang disebut jaro warega sebagai penghubung antara dunia luar dengan Kanekes. Adanya jaro warega itu tidaklah mengganggu sistem jaro sebagai kelompok pemimpin peringkat ketiga, karena dianggap dalam kategori suku lampah puun itu. Hal itu kemudian terbukti, yaitu sewaktu kepala desa diperlukan dalam sistem pemerintahan desa yang baru, jaro warega tetap berfungsi dalam hal keagamaan dan adat bagi Baduy Panamping dan Dangka, posisi baru ditambah dengan seorang jaro, yaitu Jaro Gubernemen sebagai Kepala Desa Kanekes. Bagi orang Baduy pikukuh ialah titipan karuhun, yang secara tegas dinyatakan bahwa;
Buyut nu dititipkeun ka puun                            buyut yang  dititipkan kepada puun
Nagara satelung puluh telu                               negara satelung puluh telu
Bagawan sawidak lima                                    bagawan sawidak lima
Pancer salawe nagara                                     pancer salawe nagara
Gunung teu meunang dilebur                           gunung tak boleh dilebur
Lebak teu meunang diruksak                          lembah tak boleh dirusak
Larangan teu meunang dirempak                      larangan tak boleh dilanggar
Buyut teu meunang dirobah                             buyut tak boleh dirobah
Lojor teu meunang dipotong                             Panjang, tak boleh dipotong
Pondok teu meunang disambung                     pendek, tak boleh disambung
Nu lain kudu dilainkeun                                   yang bukan, ditiadakan
Nu ulah kudu diulahkeun                                 yang jangan, nafikan
Nu enya kudu dienyakeun                                yang benar, dibenarkan

(Prof. H. Judistira Garna, Ph.D)